#6: Awal Pertemuan

14 1 0
                                    

Waiting for Love dari Avicii menjadi soundtrack di dalam mobilku. Lantunan yang membawaku ke arus cepat pergerakan mobil. Maksudku, mobil yang aku kendarai aku bawa sekencang-kencangnya. Ditengah perenungan bahwa aku memang tidak bisa mendapatkan cinta yang terbaik.
Memang namaku bagus yaitu Dimas, tapi tingkahku dan styleku, tak ada wanita yang akan suka. Maco? Mungkin tidak, hanya sedikit berotot karena sering nge-gym, badan agak tinggi, botak, kulit hitam. Ciri khas dari diriku. Yasudahlah, itu semua sudah Tuhan yang mengatur.
Aku bawa diriku ke sebuah café. Kafe yang menawarkan semua jenis minuman untuk para pekerja lembur. Bir, red label, limun, kopi, dan sebagainya. Aku suka mengunjungi kafe ini akhir-akhir ini. Mobil hitamku sudah memasuki parkir café itu. Mobil yang telah lama menemaniku bekerja sebagai transporter. Mobil yang super canggih, memiliki nos, mampu dengan cepat merubah plat nomor dan warna mobil.
“Pesan kopi ekspreso satu ya?” pesanku pada si pelayan
“baik tuan,” jawabnya dengan sopan.
Duduk di sebuah meja yang berada di sudut ruangan, aku disana. Membawa sebuah kopi, sekarang merenungi kenapa aku mengambil pekerjaan hina ini. Ambil saja tugas sebagai pengantar barang, walau gaji nya sedikit. Tapi…., sudahlah kalau dalam perenungan akan selalu muncul kata “Tapi” untuk membela diri sendiri yang sudah salah sedemikian rupa.
Ya, kehidupan aku terlalu terbelit-belit. Ya ada masalah inilah itulah. Salah satunya mobil untuk aku kendarai. Memodif dan menyetir bukan merupakan kegiatan criminal tapi menyenangkan buatku. Selama ini aku mengumpulkan uang dan membeli sebuah mobil rongsokan, aku modif di bengkel pamanku. Setiap jamnya kugunakan untuk mengupgrade mobilku ini. Tercipatalah mobil yang sampai sekarang aku kendarai.
Aku dulu sekolah di SMA Bakti Widya. Hidupku tragis disana. Mereka(yang menganggap dirinya manusia) selalu menghinaku. Ya kegiatan bully udah biasa aku rasakan.
“orang aneh, yang duduk di bangku belakang. Dasar aneh loe.”
“…” aku cukup diam saja, tapi mereka
“kehidupan loe terlalu tragis, nggak mungkin ada orang yang suka sama loe.”
“dasar aneh” ketus yang lain
“…” kembali aku diam saja
Memang kegiatan bully itu dilarang, tapi kalau sudah tak ada guru mereka semua akan melakukan kegiatan terlarang itu. Marah? Tak usah. Buat apa juga aku marah.
Aku memang tak memiliki prestasi belajar, humoris tapi tak pernah lucu, aneh, jelek. Punya kehidupan yang tak jelas. Aku duduk di bangku paling belakang, dekat jendela. Tujuan hidupku juga tidak jelas. Ya bangku paling pojok belakang, tempatku mencari inspirasi, dan berharap punya teman yang bisa sama denganku. Sambil mempelajari buku mekanika tebal yang sering aku bawa untuk mempelajari lagi hal-hal yang mengejutkan dari sebuah mobil dan mengupgrade nya.
Tidak hanya di SMA, di TK, SD, SMP, aku memang sering di bully, hingga aku selalu menutup diri dari orang-orang yang menganggap dirinya manusia.
TK, aku di bully, karena ayahku mempunyai pekerjaan yang tidak jelas, dan sering meninggalkanku.
SD, di bully, karena aku sebatang kara, ibuku sakit-sakitan, dan ayahku mati dan mayatnya tak pernah pulang
SMP, di bully, karena sering bermain sulap tanpa penonton, dan akhirnya aku mendapat gelar sebagai “orang aneh”
Dan itulah “pembullyan” yang sangat kejam menurutku. Tapi aku sudah kebal dengan hal itu. Seolah-olah aku terbentengi, oleh sebuah kata “bully” dan “aneh”.
Kiccrrringgg…. Suara lonceng kafe, pertanda ada pelanggan yang keluar masuk. Hanya saja ada perasaan aneh ketika pelanggan itu masuk. Pelanggan yang juga seminggu lebih aku temui di kafe ini. Tapi aku hanya berani curi curi pandang. Momen itu tiba, dia mendatangiku membawa segelas minuman pesanannya, duduk di mejaku. Apakah ini mimpi? Ini terlalu nyata, tak mungkin ini mimpi.
Mimpi yang tidak bisa aku elak, dan buatku bahagia. “permisi boleh aku duduk disini?” tanyanya, aku tidak menjawab masih terpana melihat pesona wanita ini. “baiklah kalau tidak boleh, aku duduk di meja lain saja,” katanya. “Eh, tunggu-tunggu dulu, boleh saja.” Jawabku.
“Maaf ya mengganggu momenmu” katanya
“owh gapapa, aku juga senang ada di ajak mengobrol,” jawabku
“ngomong-ngomong nama mas siapa?”
“namaku Mas..”
“maksudnya?”
“Hahaha, aku bercanda. Maksudku namaku Dimas, paggil saja seperti itu.”
“Owh.. hahaha, kamu lucu juga, namaku Lia”
“Kamu kok sendirian malam-malam disini?”
“ya… aku lembur, aku bekerja di sebuah perusahaan smartphone,”
“wah hebat”
“Hebat apanya? Manusia dikira robot apa” jawabnya mengeluh.
Awal pertemuan ini memunculkan benih benih cinta di antara Lia dan diriku. Walau belum kenal dekat, aku sudah merasa nyaman. Obrolan di café itu memunculkan alur jalinan hubungan yang dipisahkan oleh maut.
Singkat cerita, aku dan Lia resmi berpacaran. Beberapa bulan lamanya. Namun, seperti yang aku katakana, maut memisahkan kita. Lia  meninggal dunia dalam kejadian itu. Si Keparat itu, akan aku cari dan aku habisi dia.

JAFARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang