1

1.1K 32 12
                                    

Malam sudah larut, tapi Rose masih belum bisa tidur. Entah sudah berapa lama ia bergerak-gerak gelisah di atas kasur. Diliriknya jam dinding di seberang ruangan, sudah pukul sebelas malam dan Leon masih belum pulang. Rose semakin yakin akan firasatnya. Ia tahu Leon pasti berselingkuh. Lagi.

Merasa hampir gila dengan pikiran-pikiran negatif yang sedari tadi berseliweran di kepalanya, Rose akhirnya bangkit dan memutuskan menelpon Leon.

Nada masuk terdengar, namun Leon tak kunjung mengangkat hingga panggilannya masuk ke kotak suara. Rose mendesah kasar. Ia mengulanginya lagi, dan hasilnya masih sama.

"Sialan kau, Leon! Berani-beraninya kau mengabaikan aku!" Rose melempar telpon genggamnya ke tembok hingga berceceran. Siapa yang peduli dengan telpon genggam yang hancur jika hatinya sendiri juga hancur?


***


"Aaahh...."

Leon menjatuhkan diri di samping Callysta setelah meraih kenikmatan bersama wanita itu. Peluh mereka bercucuran setelah melakukan aktivitas panas selama beberapa jam. Setelah menormalkan napas serta detak jantungnya, Leon berbalik menyamping dan mengambil ponselnya di nakas di samping tempat tidur.

"Sial," gumamnya saat melihat layar handphone. Ada 12 missed calls dari istrinya.

"Ada apa?" tanya Callysta khawatir.

"Aku harus pergi," Leon berkata cepat sambil bangkit dari kasur dan mulai mengenakan pakaiannya kembali satu per satu. Ia sama sekali tidak risih menyadari Callysta tengah memperhatikannya. Kenapa harus risih jika tadi mereka telah mengeksplorasi seluruh bagian tubuh satu sama lain? Sekarang pasti tidak ada lagi bagian tubuhnya yang belum diketahui oleh wanita itu. "Bye, Baby," katanya setelah selesai mengenakan seluruh pakaiannya.

"Kau akan meninggalkanku sendirian malam ini?" Callysta bertanya sendu.

"Hey..." Leon kembali duduk di kasur, menatap Callysta lembut, "Kau tahu aku harus pulang. Dari awal kau tahu bahwa aku telah memiliki istri."

Meskipun ucapan Leon begitu lembut dan tatapan matanya tampak ikut terluka, Callysta sadar Leon tak akan mengubah keputusannya. Lelaki itu tetap akan meninggalkannya sebentar lagi, kembali ke rumah di mana istri tercintanya telah menunggu.

"Maafkan aku, ya?" Leon menggunakan nada bertanya, padahal Callysta tahu itu hanya basa basi. Callysta yakin bahwa ia dan Leon sama-sama tahu bahwa Callysta akan selalu memaafkan Leon, meski berkali-kali lelaki itu menyakiti hatinya.

Leon mengecup kening Callysta cukup lama setelah perempuan itu mengangguk, menyanggupi untuk sekali lagi memaafkan sang kekasih hati. Setelahnya, lelaki itu bangkit dan pergi meninggalkannya seorang diri.


***


"Sayang, aku mohon buka pintunya...." Leon mulai putus asa mengetuk pintu rumahnya. Sudah setengah jam ia berdiri di teras rumahnya, mengetuk pintu ratusan kali, dan tak ada apapun yang terjadi. Jangankan pintu depan dibuka, terdengar suara orang bangun dari dalam rumah pun tidak. Leon sudah menghubungi telepon genggam istrinya berkali-kali, namun tidak pernah tersambung. Dan sayangnya mereka tak punya telepon rumah. Untuk berteriak-teriak di depan rumahnya, Leon merasa malu sendiri. Ia hanya ingin istri tercintanya yang mendengar, dan bukan para tetangga penggosip. Karena itu ia hanya bisa memanggil dengan berusaha berbisik tapi kencang. Alhasil, suaranya mulai terasa serak.

Setelah 45 menit memanggil tanpa ada hasil, Leon akhirnya terduduk pasrah di teras. Sambil bersandar di pintu, ia memejamkan matanya. Mungkin akan lebih baik jika ia tetap di apartemen Callysta malam ini. Dengan kasur yang empuk, udara yang hangat, dan guling yang bisa dipeluk. Guling hidup yang seksi, yang mungkin akan memberikan servis tambahan di pagi hari nanti.

"Aaahhh!!" Leon menggeram marah sambil menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran kotornya yang tiba-tiba muncul. Biar bagaimana pun ia punya rumah untuk pulang, dan ia akan selalu pulang ke rumah ini tak peduli apapun yang terjadi.


***


Saat Rose membuka pintu depan rumahnya di pagi hari, suaminya langsung jatuh terjengkang ke depan kakinya. Si bodoh itu rupanya tidur di sini semalaman, pikir Rose.

Leon mau tak mau terbangun akibat jatuh dengan bagian belakang kepalanya terbentur lantai. Ia meringis sambil mengusap-usap belakang kepalanya yang sakit, lalu berhenti saat melihat kaki jenjang nan indah yang ada di depannya. Perlahan ia mengangkat kepalanya dan menemukan wajah cantik istrinya sedang menatapnya dengan sinis.

"Hai, Sayang," Leon nyengir dengan gugup, "Kau kelihatan cantik sekali pagi ini."

Rose masih menatapnya dengan sinis. "Mungkin itu karena tidurku sangat nyenyak semalam, tidak ada yang menggangguku sama sekali dan membuat area tidurku sempit," jawabnya. "Mungkin sebaiknya suamiku tidak perlu pulang lagi ke rumah supaya aku bisa tidur nyenyak setiap malam. Atau mungkin sebaiknya kami berpisah saja..." ia melanjutkan dengan seringai kejam.

Mata Leon membulat. Ia buru-buru bangkit. "Apa maksudmu, Sayang? Aku lembur tadi malam, demi masa depan kita." Leon memegang lengan atas Rose, berusaha meyakinkan wanitanya itu bahwa ia tak patut dicurigai.

Tapi Rose terlalu pintar—atau mungkin Leon sudah terlalu sering berselingkuh—sehingga wanita itu tahu bahwa yang barusan diucapkan suaminya adalah suatu kebohongan. "Masa depan yang mana maksudmu?" Rose menatap mata suaminya menantang. "Jika kau masih seperti ini terus, mungkin tidak akan ada masa depan untuk kita," ia melanjutkan dengan sendu, sebelum akhirnya berbalik meninggalkan Leon yang hanya mematung di sana.


***


CemburuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang