Sederet Kesialan Senin Pagi

176 10 2
                                    

Halooo temen-temen!

Sebelumnya aku minta maaf banget karena banyak cerita yang belum bisa dilanjutin karena aku stuck dan malah nyelesaiin cerita lain yaitu cerita ini:(

Berhubung kampusku juga memberlakukan kebijakan untuk kuliah daring, aku mutusin buat ngepost ini hehe

Semoga sehat selalu xoxo

**********

Bagi Aira, hari Senin tidak pernah seburuk yang orang-orang propagandakan di media sosial. Pertama, ia tidak perlu mengawali pagi dengan mendebat Airis untuk hal-hal sepele karena setiap Minggu malam Airis menginap di rumah Tante Nilam supaya tidak perlu terburu-buru dari rumah. Kedua, ada empat jam pelajaran Fisika, mata pelajaran yang paling Aira sukai. Ketiga, Aira bisa bertemu Andra, orang yang paling Aira sukai.

Kecuali Senin kali ini.

"Mati gue!"

Aira mengencangkan pegangan tangan pada ranselnya untuk berlari sekuat tenaga, mengadu kecepatan larinya dengan dorongan pintu gerbang oleh satpam sekolah yang kini tampak seolah berbinar-binar melihatnya terlambat. Setidaknya begitulah yang terlihat oleh Aira. Tinggal sedikit lagi hingga akhirnya ia berhasil menyelipkan kakinya yang dilapisi sepatu sehingga satpam dengan perut gendut itu mengendurkan pegangannya pada pintu gerbang. Dengan pandangan prihatin, ia meneliti Aira dari atas ke bawah sambil menggeleng-geleng takzim.

Aira menelan ludah susah payah sembari berusaha mengatur napasnya.

"Saya janji nggak akan telat lagi, Pak," mohonnya, semakin mendesakkan kakinya supaya gerbang yang masih sedikit terbuka semakin melebar.

"Peraturan adalah peraturan, Neng. Nggak bisa ditawar."

Mendengar jawaban Pak Amin, Aira mendengus sambil bersedekap. Dengan gerakan cepat, ia menarik kakinya. SMA Wijaya Bhakti tidak tanggung-tanggung kepada siswa-siswi yang terlambat barang satu detik pun. Mereka tidak akan diizinkan untuk masuk hingga upacara selesai, baru setelah itu digiring untuk menerima hukuman yang sangat variatif dan sekalipun telah menjalani hukuman, ia akan tetap mendapat poin minus. Padahal, tiap hari Senin, bel baru berbunyi pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Sialnya, ia harus kesiangan gara-gara semalam suntuk begadang demi ulangan Biologi yang bahkan terancam untuk tidak dapat diikutinya pagi ini. Untuk pertama kalinya, Aira menyesali absensi Airis di rumah.

"Ah, tau gini gue nggak nginep di rumah lo, celetuk salah satu anak yang terlambat."

"Kok, salah gue? Lagian lo susah banget dibangunin!"

Pandangan Aira memindai sekeliling, hanya ada lima orang yang terlambat, termasuk dirinya. Dari dasi yang keempat anak itu kenakan, Aira tahu mereka adalah anak kelas sepuluh. Garis merah marun di ujung dasi untuk kelas sepuluh, biru tua untuk kelas sebelas, dan abu-abu untuk kelas dua belas. Peraturan yang menurutnya hanya untuk menegaskan senioritas di sekolah ini. Aira meringis, menyadari bahwa ia satu-satunya kakak kelas sebelas di antara anak-anak kelas sepuluh. Benar-benar tidak bisa diharapkan.

*

Membersihkan toilet adalah hal terakhir yang Aira inginkan hari ini atau mungkin seumur hidup. Ia bahkan berusaha mati-matian untuk tidak menggunakan toilet umum kecuali untuk mencuci tangan. Karena itulah hukuman kali ini tidak dilakukannya dengan benar. Untung saja Bu Dina yang biasanya mengawasi anak-anak yang dihukum, cukup percaya bahwa Aira akan mengerjakan hukumannya dengan baik tanpa pengawasan di toilet kelas dua belas. Adik-adik kelas yang terlambat dengannya pun mendapat hukuman di tempat lain, seolah semesta membiarkan ia leluasa untuk sekedar bersandar di tembok depan wastafel tanpa perlu repot-repot menjalankan-

Sketsa Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang