Sudah tiga hari sejak perdebatannya dengan Ervan di lapangan basket dan rupanya laki-laki itu benar-benar marah. Aira maklum. Setelah ia pikir-pikir kembali, rasa kesalnya pada Ervan saat itu sama sekali tidak beralasan. Ia tahu persis, niat Ervan baik. Insiden sewaktu ia memergoki Ervan berkali-kali saja tidak lantas membuatnya mempercayai gosip yang beredar, kenapa kalimat Lilian yang juga belum tentu jujur itu, mampu mengusiknya?
Parahnya, sekarang giliran Aira yang bingung bagaimana meminta maaf pada Ervan. Aira menyadari bahwa kontak apapun yang ia dan Ervan lakukan selama ini selalu laki-laki itu yang memulai. Sementara itu, tiga hari ini, Ervan bahkan berangkat pagi-pagi untuk bisa duduk di belakang, entah dengan siapa pun. Atau ada baiknya ia menjalankan saran Ervan dulu sebelum meminta maaf padanya? Pikiran itu terlintas ketika Dita dan Karin tampak seperti biasanya meskipun kedatangan mereka berdua tidak seheboh dulu. Sebenarnya... apakah mereka juga kacau? Apakah ada kekacauan di hidup mereka, sama seperti di hidup Aira sekarang? Apakah mereka sama kehilangannya seperti yang Aira rasakan?
"Ra? Ra?"
Aira mengerjap ketika menyadari Dinda lah yang menepuk bahunya. Sedari tadi ia pasti melamun tanpa mendengarkan pembicaraan Dinda dan Alif di depannya.
"Eh, sori-sori, gue... agak ngantuk."
Dinda tertawa.
"Ya udah, lo tidur aja. Gue sama Alif mau ke koperasi bentar."
Aira mengangguk dengan senyum lebar dan kuap yang dibuat-buat. Ia meletakkan kepalanya beralaskan kedua tangannya yang dilipat di meja. Wajahnya mengarah ke samping kanan, menatap Ervan yang tengah tertawa mendengar lelucon Asep. Kepala Aira sedikit terangkat ketika menyadari hidung Ervan sedikit memerah. Dia... sakit?
"Lagi marahan, ya?"
"Astaghfirullah!"
Aira berjengit kaget. Tiba-tiba Dio duduk di sampingnya dan menutup pandangannya ke arah Ervan. Teriakan Aira agaknya mengundang perhatian anak kelas yang lain termasuk Ervan. Ketika Aira menatapnya balik, alih-alih membuang muka seperti biasa, Ervan justru menatapnya penasaran. Dan itu membuat Aira gugup.
"Hm,"gumam Aira pelan.
Toh tidak bisa ditutup-tutupi juga.
Dio terkekeh pelan. Suaranya merendah, setengah berbisik.
"Semangat, Aira. Apapun yang membuat Ervan marah sama lo, pasti nanti dia bakal balik lagi. Gue lihat sendiri gimana dia tulus sama lo entah kalian cuman sekedar teman atau lebih."
Mau tidak mau Aira tersenyum tanpa berkata-kata, meskipun agak heran mendengar biang onar di kelasnya dapat berkata bijak begitu.
"Ervan agak tertutup dan waktu dia terbuka sama cewek, yaitu lo, agak mengejutkan sih. Karena itu... lo tahu, kan, lo harus apa? Nggak ada salahnya kok, Ra, memulai duluan," tambah Dio. "Apalagi memulai untuk meminta maaf. Itu mulia banget."
Setelah Dio berlalu keluar kelas, Aira masih ternganga mendengar penuturan Dio. Itu adalah obrolan terpanjangnya dengan Dio. Ia kembali menatap Ervan yang rupanya masih sesekali meliriknya. Suara Ervan tiba-tiba terngiang; peduli dan ikut campur itu beda, Ra. Dan cara laki-laki itu meliriknya sudah pasti bentuk kepedulian Ervan yang entah kenapa tidak ada habisnya. Tanpa sadar, Aira tersenyum pada laki-laki itu. Singkat saja, karena setelah melihat senyum Aira, Ervan justru membuang muka.
Sesuatu menohok Aira ketika mengingat kalimat terakhir Dio padanya. Meminta maaf. Hal itu juga yang tidak dilakukan Aira setelah ketidakhadirannya pada ulang tahun Dita.
*
"Dita!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Abu-Abu
Ficção AdolescentePagi itu Ervan berpamitan pada teman-teman sekolah. Akhirnya, Aira tidak bisa menahan apa yang dipikirkannya, bahwa betapa pun Aira ingin Ervan tetap tinggal, ia tahu Ervan tetap akan pergi. Start : Maret 2020