05

2.9K 396 136
                                    

Aku malu pada matahari yang berani menyampaikan cintanya pada bumi walau tak mengharapkan balasan.
Aku malu pada angin yang menyampaikan kabar walau tanpa suara.
Dan aku malu pada seorang pemuda tuna netra yang aku temui di kota cirebon. Dengan segala kekurangannya ia berani menyatakan pada gadis yang ia dambakan.

Namanya Khairul Jinnan Eunwoo. Aku melihatnya setiap menunaikan sholat fardu di masjid. Di balik kekuranganya ia adalah seorang pemuda luar biasa yang mengajarkan Quran braile di SLB satu yayasan dengan MA tempatku mengajar. Aku berani menyapanya saat sholat jumat kebetulan ia duduk di sampingku, pulangnya aku memperkenalkan diri dan mengobrol singkat dengannya sambil jalan ke Mess yang menjadi tempat tinggal kami para pengajar yang disediakan oleh pihak Yayasan.

"Mas Chanyeol."

Lamunan ku buyar ketika Eunwoo menyapaku. Aku menoleh padanya yang ikut duduk di balkon mesjid bersamaku. Di taruhnya tongkat yang menjadi petunjuk arahnya.

"Kamu tau aku disini?." Tanyaku takjib.

"Wangi cirtus dengan paduan khasturi. Minyak wangi mas sangat khas." Jawabnya. Aku mengendus bajuku yang kebetulan memang benar aku memakai wewangian saat hendak ke mesjid "Kenapa melamun?." lanjutnya bertanya.

Aku kembali menatapnya takjib. "Kamu juga tau aku sedang melamun?."

"Insting saja." Eunwoo terkekeh "Kebetulan benar."

Aku menatap pemuda yang tersenyum teduh jujur saja dia sangat tampan bahkan lebih tampan dariku, wajahnya sangat murni dan bersih, namun iris matanya kosong dan hampa, berbeda dengan mata orang normal yang focus pada satu titik kornea mata Eunwoo keduanya melihat ke atas sesekali bergulir kekiri dan kekanan, sering kali berkedip.

Betapa malangnya.

Aku Kembali menyandarkan punggungku pada pilar.

"Aku sedang berfikir. Andai hidup ini bisa kita atur sedemikan rupa sesuai keinginan kita mungkin tidak akan ada yang namanya putus asa."

Eunwoo terkekeh aku mendelik.

"Apanya yang lucu?."

"Mas yang lucu." Eunwoo kembali terkekeh. Aku mengernyit "Mas yang sempurna saja bisa bicara begitu. Lucu saja."

"Dulu saya sering berandai andai aku bisa melihat mungkin dunia akan lebih baik bagiku. Tapi kemudian aku sadar jika saja aku bisa melihat belum tentu aku dekat dengan Al-Quran." Aku menatapnya canggung.

"Terkadang apa yang kita inginkan belum tentu yang kita butuhkan. Begitupun sebaliknya, saranku syukuri saja mas."

Aku bersyukur Woo, untuk segalanya yang telah Allah gariskan untukku. Tapi merelakan Baekhyun, sangat sulit untuk di syukuri.

***

Baekhyun duduk canggung menatap Ayah dan Bunda yang tengah menikmati teh nya.

"Maaf atas keputusan ayah." Ujar Ayah setelah meletakan tehnya di meja.

Ada sedikit rasa tak rela di hati namun Baekhyun kesampingkan. Tatapannya teduh menatap ayah dan bunda di sebrang sofa.

"Ridho Ayah adalah ridho Allah." Baekhyun tersenyum yakin. "Sejak dulu kan Baekhyun sudah bilang jika keputusan menikah Baekhyun serahkan sepenuhnya pada Ayah dan bunda."

Ayah menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran sofa. Pundaknya di belai oleh istri tercinta. "Daehyun pemuda yang Sholeh, dan ayahnya adalah sahabat karibku." gumam Ayah berusaha meyakinkan diri pada pilihannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mahabah RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang