Kembali

34 2 0
                                    

Sekian hari setelah satu purnama berlalu. Hatiku masih saja terasa ngilu. Menahan sakit dari perihnya rindu. Rindu pada sosok di masa lalu. Belahan jiwa yang selama ini hilang dari hidupku. Pusat dari semua kebahagiaanku.

Orangtuaku.

Malam panjang mengantarkanku pada sebuah situasi baru. Dimana aku duduk termenung, seraya merasakan kerasnya deburan ombak di tepi pantai. Angin malam membelai lembut permukaan kulitku, membuatku merasakan sensasi dingin sampai ke rusuk.

"Key, disini rupanya." ucapnya lembut dan terdengar hangat di telingaku. Dia menghampiriku, membawa dua cangkir coklat panas buatanya. Aku menangkupkan kedua tangan, saat dirasa udara semakin dingin.

"Siapa yang menyuruhmu keluar malam-malam?"

"Tidak ada. Aku cuma bosan, Kak."

Dia memberikan secangkir coklat panas padaku, sebelum akhirnya dia duduk disampingku. Coklat ini rasanya hangat. Aku meminumnya dengan pelan, menyesap dalam-dalam aroma coklat yang sedari tadi menggugah selera.

"Jangan keluyuran terus, udara malam tidak baik untuk kesehatan. Kamu bisa demam."

"Ini semua tidak lepas darimu, Kak. Aku kesepian, aku tidak akan keluyuran kalau Kakak juga ada di rumah."

Aku melirik sejenak kearahnya, dia menghela nafasnya kasar.

"Kakak kan sudah bilang, hari ini Kakak jaga malam. Harusnya kamu tidak perlu menunggu Kakak pulang."

"Aku tidak bisa tidur, Kak."

"Eh?"

Seketika matanya membulat sempurna. Seakan tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Sejak hari dimana aku meminta dr. Kim mengizinkanku untuk pulang, sejak hari itu pula aku tinggal di rumahnya.

Rumah sederhana yang tak jauh dari pusat kota. Rumah suster Ren, lebih tepatnya. Dia dengan segala bujuk rayunya, telah berhasil membuatku terjebak di tempat ini. Tempat kedua yang paling nyaman setelah pelukan Mama.

Hari itu, dr Kim tidak serta merta mengizinkanku pulang ke Rumah. Apalagi dia tau, aku tinggal sendiri dan tidak ada yang mengawasi. Mama juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit. Meskipun sesekali pulang untuk beberapa keperluan, bisa dipastikan dia tidak bisa merawatku dengan intens.

Akhirnya, dengan kebaikan hati suster Ren dia yang menawarkan diri untuk merawatku selama aku masih dalam masa pemulihan. Dengan syarat, aku harus tinggal di rumahnya. Karena disana peralatan medis lebih lengkap, andaikata terjadi sesuatu efek dari donor hati.

"Kamu tidak meminta Kakak untuk menemanimu tidur, kan?"
tanyanya curiga, aku tertawa pelan.

"Besok pagi aku pulang, Kak. Aku sudah rindu rumah. Sudah tidak tahan lagi mau bertemu Papa dan Mama. Lagipula aku sudah sembuh, kan? Tidak terjadi sesuatu apapun efek dari dari donor hati itu."

Aku menatapnya serius, dia masih terlihat tenang menyesap dalam aroma coklat yang sudah diminum dan tersisa setengahnya. Dia masih bertahan dengan posisinya, tanpa memperdulikanku yang harap-harap cemas menanti perkataannya.

Sebenarnya sudah beberapa kali aku mengutarakan hal ini, tapi dia selalu terkesan tidak peduli. Dan seakan menahanku untuk lebih lama lagi berada di tempat ini.

"Kak,"

Dia melirik ke arahku, sedikit terjekut dengan lirikan tajamnya.

"Kamu serius mau pulang?"

Aku mengangguk pelan.

"Aku antar." ucapnya tenang.

"Eh?"

DELUSI [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang