6 Bulan Kemudian
Amal berusaha menyibukkan diri dengan berlama-lama memilih makanan. Ia sedang menghadiri pesta resepsi pernikahan salah satu teman kelasnya di pesantren.
Teman-temannya yang lain sedang asyik menceritakan kehidupan mereka, entah itu tentang momongan mereka, atau awal kisah pertemuan mereka dengan pasangan masing-masing, atau bahkan tentang pengalaman mereka dengan mertua.
Ia sama sekali tak bisa turut berkontribusi kisah apapun dengan statusnya yang masih single. Dan sebenarnya ia tidak bermasalah bila hanya menjadi pendengar. Yang menjadi masalah adalah ia merasa tak nyaman dengan tatapan mengiba mereka saat mereka mendengar statusnya yang masih menjomblo. Konyol memang, tapi seakan dia dianggap sebagai perempuan yang tidak laku. Lebih baik ia menjauh dari mereka untuk sesaat hingga perhatian mereka terhadapnya berkurang.
Tanpa sadar mata Amal berubah sendu saat ia menatap temannya yang sedang duduk di pelaminan. Ia bahagia melihat kebahagiaan temannya tapi tetap saja nalurinya sebagai perempuan menginginkan hal yang sama. Semua teman-teman di pesantrennya yang dulu sekelas dengan Amal sudah memiliki pendamping hidup.
Dulu saat mereka masih menjadi santriwati, bahasan tentang pangeran berkuda putih selalu menjadi topik yang menarik. Sifat Amal yang pendiam justru dijadikan teman-temannya sebagai alasan bahwa dia akan menjadi orang pertama yang dilamar diantara mereka. Bukan karena apa, namun karena mereka menganggap Amal akan menerima siapapun calon yang akan diajukan oleh orangtuanya.
Ironisnya, hingga sekarang Amal belum memiliki calon sejak taaruf pertama yang gagal. Calon pertama yang mendatanginya sudah menyakiti hatinya bahkan sebelum membuatnya jatuh cinta. Dan kini usianya sudah menginjak 24 tahun.
Bukan karena orangtuanya tidak mencarikan, namun selalu saja seolah ada yang menghalangi saat orangtuanya menemukan orang yang mereka anggap cocok untuk dirinya. Entah karena sang lelaki belum siap, entah karena lelaki itu sudah ada calon. Sementara Amal sendiri hampir tidak pernah berinteraksi dengan lawan jenis lebih dari interaksi yang benar-benar dibutuhkan. Ia bahkan bertanya-tanya kepada diri sendiri, apakah ia yang mempersulit dirinya dengan kriteria calon yang diinginkan? Tapi bila kasusnya seperti itu, tentu orangtuanya sudah lama menasehatinya.
Ia juga tak menganggap kriteria yang diajukan sebagai perkara-perkara yang tidak masuk akal. Ia tidak mensyaratkan kemapanan, ia tidak mensyaratkan kekayaan atau hal-hal yang berhubungan dengan materi. Lalu apa?
Ia menggelengkan kepala. Berusaha menghilangkan semua pikiran negatif. Sebulan yang lalu ia merasa terlalu cepat untuk menikah hanya karena orang-orang di lingkungannya masih banyak yang juga men-jomblo.
Sekarang hanya karena ia membandingkan dirinya dengan teman-teman sekelas di pesantren yang sudah memiliki pendamping hidup ia mulai merasa gelisah. Belum lagi dorongan keluarga besarnya yang selalu menanyakan apakah ia ingin menikah dalam waktu dekat.
Malam itu, saat ia membantu Bunda menyediakan suguhan untuk tamu yang datang, salah seorang tamu yang merupakan wanita paruh baya terheran-heran melihatnya. Bunda memperkenalkan wanita itu sebagai Ibu Vita, teman Bunda dalam proyek kemasyarakatan. Ibu Vita terheran-heran melihat Amal.
"Oh, ternyata ibu punya anak gadis ya?"
"Iya Bu. Memang jarang ada di rumah. Sejak SMA dia sudah di pesantren, kemudian setahun yang lalu lulus S1 dari Qatar. Usai kelulusan ia langsung diminta mengajar di salah satu sekolah di Bandung, dan alhamdulillah dari sana memperluas pengalaman. Sekarang rencananya akan melanjutkan S2."
"Pantas saja enggak pernah kelihatan di rumah. Saya padahal sudah lama kenal dengan ibumu. Sudah punya calon jadi sekarang nak Amal?" tanya sang ibu blak-blakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf Yang Gagal
Romance"You taught me true love..." Seperti kebanyakan perempuan lainnya, Amal tersanjung saat mendapatkan tawaran Ta'aruf untuk pertama kali dalam hidupnya. Sayangnya justru ta'aruf pertama itulah yang menjadikannya ragu dan skeptis saat ada tawaran yang...