1. Demisha

46 7 8
                                    

pokoknya gue ngga gamon.

V-


Ini chapter terpanjang yang pernah gue ketik, biasanya cuman seribu delapan ratusan lah maksimal. Berhubung part awal jadi i gift for you guys! 

*
*
*
*

-selamat membaca-

《《《《♡》》》》

Viela.

"Gue pengen jadi astronot, mau ikut nyari berlian di planet Saturnus." Siang ini gue lagi kumpul di kantin fakultas teknik, pertengahan antara fakultas manajmen bisnis dan fakultas sastra, selain itu fakultas ini juga yang paling sering di lewatin orang karna berada tepat di tengah fakultas lainnya.

"Mau apa nyari berlian di Saturnus? Lo bangkrut atau gimana? Lagian nih ya, di Indonesia masih banyak tambang berlian, nggak banayak sih tapi ribet amat lo pake harus ke Saturnus segala," pangkas gue dengan mata yang tak lepas dari pandangan Bimo, sehabat cowok yang dari orok udah bersama gue.

Saat Viela kecil menghembuskan nafas pertamanya dan di tempatkan di inkubator, Bimo udah ada di ruangan yang sama dengan yang gue tempatin. Tanggal lahir kita sama, kebetulan. Tapi enggak tahu juga sih, Mama gue sama Tante Rara udah jadi sehabat bahkan dari sebelum gue di dalam rahim Mama yang udah gue lupa rasanya gimana, mungkin mereka pake program hamil bareng.

"Buat nikahin kamu lah sayang. Ya walaupun tanpa pergi ke Saturnus duit gue lebih dari cukup buat nafkahin anak kita. Jadi tenang aja gue gaakan pergi ke Saturnus kok beb, nanti lo nangis darah kalau gue enggak balik lagi," jawab Bimo sambil geserin badannya ke arah gue, mubazirkan gantengnya Bimo kalau dianya kayak gini, gaada cool-cool nya gitu.

"Enyah lo!" Gue pindah tempat ke sebelah Jihan, cewek dengan kerudung yang membalut kepalanya. Senior gue yang manisnya ngalahin gula. Semester ini dia udah nyusun skripsi, dan juga kakak tingkat gue ini pinter banget, sampai dia jadi kebanggaan dosen di fakultas sastra inggris dan sastra indonesia karna kemampuannya yang wow banget. Gue sempet lihat buku pertama yang di tulis sama Jihan, dia nulis buku itu dulu, ketika usianya empat belas tahun dan lumayan rapi untuk bocah seumur segitu.

"Kebayang ga sih si Bimo jadi astronot," ucap Frans yang duduk di sebelah Bimo, cowok yang menurut gue cute banget karna kacamata bulat yang bertengger di hidungnya, badanya agak berisi, pipinya sedikit tembem, dan kulit yang lebih putih daripada kami berempat. Karna imajinasi gue yang di atas rata-rata otomatis otak gue ngebayangin Bimo jadi astronot, astagfirullah banget.

"Bukannya ngambil berlian atau mendarat di bulan, dia malah nabrakin diri ke matahari terus mati." Kita semua ngakak, kecuali Bimo, dia hanya memberengut kesal. Bimo itu ceroboh banget, tampang oke kelakuan bobrok.

"Ya ngga gitu juga," ucap Bimo, pura pura marah. "Bukannya di doain malah di ketawain, males ah."

"Iya deh kita doain kamu jadi astronot," sela Jihan setelah minum jus buah naga kesukaan dia demi mereda tawanya, sedangkan gue sama Frans masih ketawa kurang ajar. Jihan ini tipe cewek lembut gitu, Frans aja kecantol sama parasnya Jihan tapi ketikung duluan sama dokter bedah yang ganteng abis. Belom maju aja udah kedorong.

"Aduh, emak emang the best deh." Jihan cuman gelengin kepala denger ucapan Bimo yang matanya bersinar kayak lampu LED, gak lama jihan berdiri terus angkat handphonenya yang berdering.

"Siapa?" Tanya gue pelan, dia jawab lebih pelan lagi 'Fino' suami dia. Palingan bentar lagi di jemput, mata kuliah kita udah selesai soalnya. Gue dan Jihan ngambil jurusan Sastra indonesia, walaupun Jihan tingal nemuin dosen pembimbing, dia masih nemenin gue buat ngumpul di kantin yang udah kita anggap sebagai base camp. Frans dan Bimo, mereka ngambil jurusan Bisnis dan manajmen, dan beruntungnya lagi mereka seangkatan, beda sama gue yang di kelas yang always alone. Panjang buat nyeritain perjalanan kita berempat sampai bisa sehabatan.

Ma-lieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang