Bagian 1

899 32 1
                                    

Pagi ini seperti pagi-pagi yang biasanya. Bangun tidur, cuci muka lalu memasak mie instan. Ya, hanya mie instan yang hari ini aku punya. Maklum, anak kost ditambah lagi akhir bulan, jadi ya harus mengirit dalam segala hal. Sambil membawa mangkuk mie, kuraih remote televisi yang terletak di kasur. Aku duduk bersila sambil memencet tombol on pada remote.

"Seorang wanita ditemukan tewas mengenaskan di depan kamar kostnya di jalan Sudirman," kubesarkan volume televisiku karena jalan Sudirman adalah jalan yang sama tempat kostku berada, "tubuhnya kering seperti kehabisan darah,"

Sejenak aku bergidik sambil terus memakan mie dalam mangkuk. Mata ini tak lepas dari berita televisi di depanku. Penasaran.

"Wanita yang sudah diketahui identitasnya itu merupakan korban pertama di kota ini, sebelumnya pernah terjadi di kota-kota lainnya,"

Setelah mie dalam mangkokku habis, aku meletakkannya di kamar mandi lalu mematikan televisi. Seram sekali bagiku, pembunuhan yang membuat korbannya sampai kering seperti itu. Hal yang sangat sadis menurutku.

Aku memilih merendam baju kotorku ke dalam ember di kamar mandi. Sambil menyalakan keran air, aku menuangkan detergen ke dalam ember.

"Tok ... tok ... tok ...! Mir! Mira!" teriak suara diluar kamar yang sudah tak asing lagi.

Perlahan aku membuka pintu kamarku. Di depan pintu, sudah berdiri Santi. Dia teman satu kampus sekaligus tetangga kost yang tinggal di kostan sebelah.

"Mir, uda liat berita?" tanyanya antusias.

"Hm ..." jawabku malas.

"Yuk!"

Tanpa aba-aba dia meraih tanganku dan menyeretku keluar kamar. Dia juga yang menutup pintu kamarku.

"E ... e ... mau kemana sih?" ujarku tetap mengikuti langkahnya.

"Liat ke sana, kan deket sama kostan kita," ujarnya.

"Nggak! Nggak! Gue takut!" tolakku tapi gagal melepas tanganku dari genggaman Santi.

"Lu gak usah liat, temenin gue aja," ujarnya lagi.

Benar saja, ternyata kostan tempat kejadian perkara tak jauh dari kostan kami berdua. Di depan rumah kost itu sudah penuh dengan orang-orang yang sama penasarannya seperti Santi. Aku berhenti di depan pagar dan menggeleng pada wanita tinggi dan kurus itu.

"Takut," bisikku.

"Ya udah, lu tunggu sini, gue aja yang liat," ujarnya semangat.

Tak lama Santi menghilang dalam kerumunan, dan aku berdiri sendiri di depan pagar sambil memperhatikan orang-orang yang berkerumun.
Seorang pria berkulit putih dengan tubuh tinggi dan mata belok menyibak kerumunan. Pria itu seperti tak asing buatku. Beberapa kali aku pernah berpapasan dengannya di kampus. Aku tak tau namanya, aku hanya tau dia kuliah di jurusan tekhnik sipil.

"Oi! Ngelamun!" ujar Santi menepuk pundakku.

"Siapa juga yang ngelamun," sanggahku, "lho kok cepet?" tanyaku penasaran.

"Iya, mayatnya uda dikantongin, jadi nggak keliatan," jawabnya.

Aku mengangguk-anggukan kepalaku dan entah mengapa mata ini kembali menatap pria yang barusan datang tadi.

"Egh, cowok itu satu kampus kan sama kita?" tanyaku sambil menunjuk ke arah pria tersebut.

"Iya, itu Wishnu, ganteng ya, kaya oppa korea," ujar Santi dengan pipi bersemu merah.

"Apaan sih, biasa aja kali," jawabku santai lalu mulai beranjak.

"Kulitnya putih, matanya belok, terus cool banget, ya ampun ...!" ujarnya berbinar, "sayang pendiam," lanjutnya.

"Itu bukan pendiam, tapi sombong," ujarku sambil lalu.

"Mau kemana, Mir?" tanya Santi mengikutiku dari belakang.

"Pulanglah, enakan tiduran di kost," jawabku enteng.

Aku memilih pulang ke kostan, menikmati hari dengan rebahan. Ah tak ada yang senikmat rebahan di kamar kost, apalagi pas tanggal tua begini. Hehehe ...

Darah Pelakor , Karya : Pudji KartikawatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang