Bagian 5

453 19 0
                                    

"Pesanan untuk meja nomor delapan belas," ujarku meletakkan kertas pesanan ke meja tempat mengumpulkan kertas pesanan.
Tak lama, satu nampan pesanan meja nomor delapan belas datang dan aku bersiap mengantarkannya. Dua piring Nasi Ayam Teriyaki dan dua gelas jus jeruk. Ah ngeri juga orang yang pesan makanan ini, padahal pemesan makanan ini seorang pria tua, mungkin usianya sekitar enam puluh tahunan. Tapi mengingat perutnya yang buncit, kurasa pantaslah kalau pria itu makannya banyak. Kuletakkan pesanan ke atas meja dan menatanya dengan rapi.

"Silahkan, Pak," ujarku mempersilahkan.

Ia menatapku sambil tersenyum genit. Kumis tebalnya ia gerak-gerakkan ke atas dan ke bawah. Hiiiy, ogah berlama-lama melihat pria tua ganjen itu aku bergegas kembali ke belakang.

"Mira?" ujar seorang gadis berambut pendek di atas bahu itu.

Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Dia Bella, teman satu kampusku. Gadis dengan dress mini di atas lutut berwarna biru itu mendekat ke arahku.

"Loe ... kerja di sini?" tanyanya.

"I ... iya, Bel," jawabku sambil menunduk.

Bella lalu meraih bahuku dan memutar tubuhku. Sejenak ia seperti berpikir lalu sekilas memandang pria yang sedang lahap memakan nasi di meja nomor delapan belas. Pria itu berhenti menyuap lalu menunjukkan jari jempolnya.
"Loe mau nggak kerja bareng gue?" tawarnya, "bayarannya mahal," bisiknya di telinga kananku.

"Oya? Kerja apa?" tanyaku penasaran.

"Nemenin om-om," jelasnya.

Mataku membulat dan seketika kepalaku menggeleng. Gila apa? Masa nemenin om-om? Mana omnya gendut, palanya botak, dan iyuhhh bau ketek.

"Ogah, gue mau kerja yang biasa-biasa aja," tolakku.

"Sayang lho, loe itu cantik, pasti banyak yang mau," bujuknya.

"Enggak, maaf."

Aku langsung beranjak meninggalkan Bella. Sepertinya gadis itu kecewa dengan penolakanku. Kulihat pria buncit itu menepuk-nepuk bahu Bella. Eh itu bukan nepuk kali, tapi mengelap tangannya yang kotor kena nasi ayam.

Hari ini pengunjung restoran lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena malam minggu. Bahkan ada beberapa kawan kampus yang datang dan makan di restoran ini bersama kekasihnya.

"Mbak! Pesan dong!" teriak seorang pria di ujung dekat pintu.

Aku bergegas menghampirinya. Ternyata itu Adi, di sebelahnya ada Ryan, lalu di depan mereka ada Wishnu. Adi pria bertubuh kurus dan berkulit cokelat, rambutnya lurus dibelah tengah. Sedangkan Ryan, tubuhnya lebih pendek dari Adi dan Wishnu. Dan lagi, giginya yang menonjol keluar sering membuat kawan-kawan memanggilnya Tao Ming Tse singkatan dari tolong mingkem sedikit.

"Pesan apa?" tanyaku sambil bersiap mencatat di buku.

"Gue nasi ayam kremes sama es teh," jawab Adi.

"Gue chicken teriyaki sama jus deh," sahut Ryan.

"Jus apa?" tanyaku.

"Jus jambu aja," jawabnya.

Ryan menyenggol tangan Wishnu yang duduk di depan mereka. Pria itu sangat fokus dengan ponsel yang dipegangnya. Seketika Wishnu terperanjat kaget.

"Lu pesen apa, Wish?" tanya Ryan.

"Idem," jawabnya datar lalu memandang kembali ponselnya.

"Idem?" jawab Adi dan Ryan serempak sambil saling pandang.

"Maksudnya idem gimana?" tanyaku memastikan, "pesanan mereka berbeda," jelasku.

Wishnu lagi-lagi nampak kaget tapi tetep dengan gayanya yang cool. Hm ternyata ganteng juga dia. Eh apaan sih, kok malah muji dia?

"Samain aja sama Adi," jawabnya.

"Eh lu yakin? Lu kan gak doyan ayam, Wish," ujar Adi mengingatkan.

Lagi-lagi matanya membulat, entah kenapa jadi suka melihat wajahnya yang cool meskipun sedang kaget.

"Salad deh, sama jus jeruk," jawabnya lalu kembali fokus ke ponselnya.

Ya ampun, pria itu bener-bener cuek dan cool. Kucatat semua pesanan mereka ke buku dan berlalu meninggalkan mereka.

Tak lama pesanan mereka telah siap, dan aku kembali membawa nampan pesanan ke meja Wishnu. Kuletakkan satu persatu pesanan dengan hati-hati.

"Selamat menikmati," ujarku sambil tersenyum.

Aku berbalik dan berniat kembali ke belakang. Tiba-tiba Wishnu meraih tanganku, membuatku tak dapat bergerak. Untuk sejenak aku kebingungan. Kulihat Wishnu membungkukkan badannya dan meraih sesuatu di bawah kakinya.

"Ini," ujarnya dingin.

Ternyata ia memberikan pulpen. Ha? Pulpen? Aku meraba saku bajuku tempat biasa aku meletakkan pulpen setelah mencatat pesanan. Dan puplenku benar-benar tak ada. Perlahan kuambil pulpen berwarna hitam itu dari tangannya.

"Makasih," ucapku sambil berlalu.

Kupegang tanganku yang tadi dipegang oleh Wishnu. Entah kenapa jantungku jadi berdetak lebih kencang. Ada rasa panas menjalar di pipiku. Ah, apakah pipiku sudah memerah seperti tomat?

"Mir! Lu ngapain senyum-senyum ndiri?" ujar Bima membuyarkan lamunanku.

"Hah? Gue ... gue ..." belum selesai aku bicara Bima beranjak karena ada pelanggan yang datang.

*****

Segini dl ya reader
Jangan lupa vomentnya yach
.
Baca juga
.Pengantin kliwon
. Teror sang tumbal
. Kesumat

Darah Pelakor , Karya : Pudji KartikawatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang