Jam kerja telah usai, kulirik jam yang menempel di dinding restoran. Pukul sepuluh lebih lima belas menit. Aku masih sibuk mengelap meja yang terkena noda makanan. Dan Bima menyapu lantainya. Indah serta kawan lain sibuk membereskan uang di meja kasir.
"Gue balik dulu, ya," pamitku sambil meletakkan kain lap ke washtafel.
"Bareng," ujar Bima meletakkan sapu ke belakang.
Aku dan Bima berjalan menuju ruang karyawan. Ruangan itu berhadapan dengan toilet karyawan. Sebelum sampai ke sana, kami harus melewati lorong yang di sebelah kirinya adalah kantin khusus karyawan.
"Lu balik sendiri kan?" tanya Bima.
"Iya," jawabku singkat.
"Ng ... gue ... boleh anterin?" tanyanya ragu-ragu.
Aku menatapnya yang terlihat kikuk dengan memainkan ujung kemejanya. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lebih mirip seperti anak kecil.
"Boleh," jawabku memecah keheningan.
"Beneran?" matanya berbinar.
Aku mengangguk lalu masuk ke ruang karyawan. Bima lebih dulu membuka loker dan mengambil jacket serta helmnya.
Perlahan kubuka lokerku dan bermaksud meraih tas dan jacket yang tadi kuletakkan di sana. Baru saja tangan kananku masuk meraih tas, aku merasakan ada tarikan dari dalam loker sehingga tubuhku menempel ke loker.
"Agh!" aku berteriak membuat Bima terkejut dan menghampiriku.
Tangan kananku masih di dalam loker. Entah makhluk apa yang tengah mengusik dan mencoba melukaiku.
Bima membantu menarik tanganku agar terlepas. Terjadi tarik menarik antara aku, Bima dan sesosok makhluk tak nampak di dalam loker. Tak lama setelah Bima memegang tanganku, cengkraman dari dalam loker menghilang. Dan karena aku dan Bima menarik tanganku dengan kuat, kami terjatuh di lantai.
"Loe nggak apa-apa?" tanyanya.
Aku menggeleng sambil mengusap bekas cengkraman di tanganku. Pergelangan tanganku menghitam dengan sedikit luka gores. Bima meraih tanganku dan melihat lukanya.
"Ini nggak beres, Mir," ujarnya.
Aku bangkit berdiri dan kembali meraih tas dan jacketku yang masih di dalam loker. Kali ini aku melakukannya dengan cepat.
"Udah biarin," ujarku, "yuk pulang."
Bima menatapku tapi kemudian menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang. Entahlah, mungkin ia kecewa aku tak menggubrisnya.
Aku mengikuti Bima menuju parkiran motor karyawan yang terletak di belakang gedung restoran. Bima naik ke motor dan menstarternya. Setelah mesin motor menyala, baru aku naik ke boncengan.
Perlahan, motor mulai bergerak dan meninggalkan tempat kerja kami. Tak ada percakapan di antara kami selama perjalanan, karena kami tahu itu berbahaya. Saat hampir sampai ke kostan, motor kami melewati rumah kost lain yang terlihat lebih megah. Ya, kostnya Bu Burhan.
Kostan itu difasilitasi AC dan Wifi. Di dalam kamar kost juga lengkap dengan ada springbed single dan lemari pakaian. Bahkan ada kulkas juga di dalam setiap kamar kost. Tempat parkirnyapun luas dengan beberapa mobil yang terparkir. Wajar kalau kostan itu mahal, sebulan bisa sampai dua juta. Itu mah satu kali gajiku di tambah lemburan. Tak kusangka Bella yang hanya anak kuliahan bisa ngekost di sana. Ternyata pekerjaannya seperti itu. Entah mengapa aku jadi bergidik.
Mataku menangkap sosok Bella yang baru saja turun dari sebuah mobil Avanza hitam. Pria tua yang tadi juga ikut turun dan mendekat ke arah mereka. Tanpa rasa malu mereka berciuman di tempat terbuka. Iyuh ... tak dapat kubayangkan rasanya di cium lelaki yang jelas-jelas usianya sepantaran dengan ayah sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Pelakor , Karya : Pudji Kartikawati
HorrorMisteri mayat yang ditemukan kering, layaknya manusia kehabisan darah. Siapakah mereka? Siapakah pembunuhnya?