Bagian 4

549 22 0
                                    

Waktu kuliah tlah usai, Santi dan mahasiswa lain berhamburan keluar kelas. Aku masih sibuk membereskan buku di atas meja dan memasukkannya dalam tasku. Tak sengaja tangan ini menyenggol pulpen yang belum kumasukkan dalam tas. Aku segera membungkuk dan mencoba meraih pulpenku. Saat membungkuk itulah, mataku tertuju pada sebuah kaki yang tiba-tiba muncul di depan mejaku.

Kaki itu terlihat keriput dan tak memakai alas. Ada sedikit lumpur yang menempel di telapak kakinya. Pemilik kaki tersebut memakai jarit berwarna dasar hitam. Jantungku berdegup kencang ketika kaki itu melangkah maju. Aku segera menyigapkan tubuhku dan berharap menemukan sosok itu. Tapi sepi, aku celingak celinguk sendirian di dalam kelas.

Santi yang masih mengobrol dengan teman pria dari fakultas lain menghampiriku.

"Cari apa, Mir?" tanyanya.

"Ha? Apa?" ujarku sambil membenarkan rambutku yang jatuh ke wajahku.

Santi mendengus sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lu kenapa sih? Akhir-akhir ini aneh banget?"

"Ng ... nggak apa-apa," jawabku berbohong.

Nggak mungkin kalau aku bilang di ganggu setan, bisa-bisa dia nempel terus kayak perangko.

Tanpa banyak berfikir, aku menarik tangan Santi keluar dari kelas dan berjalan menyusuri lorong kampus.

Sempat beberapa mahasiswa menyapaku, tapi tak kuhiraukan. Pria-pria seperti mereka, paling hanya mau main-main saja.

"E ... e ... pelan-pelan dong, Mir," protesnya sambil menarik kembali tangannya.

"Iya, maaf," ujarku.

"Mau kemana sih? Buru-buru amat?" tanyanya.

"Pulang, pengen rebahan," jawabku asal.

Kembali Santi menggeleng dan kami berjalan beriringan pulang ke kost.

Sesampainya di depan kostku, Santi masih berjalan menuju tempat kostnya yang terpaut dua rumah dari tempat kostku. Setelah memastikan Santi masuk ke tempat kostnya, aku berjalan masuk ke kamar kostku. Langsung saja kulempar tas ke lantai dan merebahkan tubuhku di kasur.

"Nyamannya ...." ujarku setengah mengantuk.

Perlahan tapi pasti, aku mulai memejamkan mataku. Entah kenapa tiba-tiba mataku serasa berat dan ingin terus terpejam. Lalu gelap dan aku terlelap.

Sepertinya aku baru saja terlelap, namun ketika membuka mata entah kenapa kini aku berdiri di sebuah tebing. Aku terbelalak dan langsung merapatkan tubuhku ke dinding tebing di belakang tubuhku.

Tebing yang kupijakpun tak luas, hanya selebar telapak kakiku. Jika aku terpeleset sedikit saja, aku pasti jatuh ke laut yang ada di bawah tebing. Ingin rasanya  berteriak meminta tolong, tapi pada siapa? Tebing yang kupijak sangatlah curam. Di bawah tebing, deburan ombak laut menerjang dengan hebatnya. Suaranya bergemuruh memekakan telinga.

"Ha ... ha ... ha ...."

"Siapa itu!" teriakku dengan kedua tangan terus berpegangan pada dinding tebing di belakang tubuhku.

"Mira ...," ujar suara perempuan itu.

"Apa maumu? Kenapa kau ganggu aku!" teriakku lagi.

"Kau ... kau, Mira ...."

Aku menangis ketakutan. Suara dan deburan ombak itu semakin membuatku benar-benar membuatku gemetar. Apalagi ketika tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Aku sampai harus terpejam karena tak mampu menahan hembusan angin yang kencang. Semakin berhembus kencang, semakin dingin kurasakan. Yang kutakutkan hanya satu, aku takut terjatuh dari tebing ini ke dalam lautan di bawah kakiku. Aku kan nggak bisa berenang, gimana caranya aku bisa menyelamatkan diri jika aku terjatuh kesana. Semakin angin itu berhembus menekan tubuhku, dadakupun sesak dan pandangan mataku kian samar. Perlahan tapi pasti, aku mulai pingsan.

Darah Pelakor , Karya : Pudji KartikawatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang