Aku dan Santi berjalan menuju kantin. Entah mataku atau kakiku yang salah langkah hingga tak sengaja menabrak Wishnu yang datang entah dari mana. Aku terjatuh dan buku-buku di tanganku terlempar tak beraturan.
Jangan kalian bayangkan layaknya adegan sinetron dimana sang pria akan membantu membereskan buku, lalu waktu mengembalikan buku tangan kami bersentuhan dan kami tersipu. Jangan, jangan bayangkan itu. Karena jangankan membantu memunguti bukuku, Wishnu dengan santai berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih terduduk di lantai. Segera saja aku membereskan bukuku dibantu oleh Santi.
"Minta maaf kek! Atau bantuin beresin gitu! Main pergi pergi aja!" gerutuku kesal.
Santi hanya tersenyum melihatku kesal dan duduk di kursi kantin setelah buku beres dengan manyun.
"Lu kenapa, Mir?" tanyanya meledek.
"Itu ... oppa korea lu tu, songong, abis nabrak minta maaf kek, main pergi aja!" gerutuku.
"Wishnu?" tanyanya memperjelas.
"Iya, siapa lagi?" jawabku kesal.
"Awas jangan sebel-sebel amat, ntar jatuh cinta," ledeknya.
"Ihhh ..." aku bergidik, "ogah gue punya cowok kek gitu, gak peka, ga beratitude!"
"Tapi dia ganteng kan? Cool ...."
"Hadeh!" aku memutar kedua bola mataku keatas, "biasa aja kali,"
Santi tertawa bahagia melihat aku kesal sendiri. Melihatnya tertawa membuatku semakin kelaparan dan kehausan.
Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit menghampiri kami berdua. Ia tersenyum ramah sambil membawa buku dan bolpoin di tangannya.
"Pesan apa nona-nona cantik," ujarnya sambil senyum.
"Mie goreng," jawabku.
"Mbak Santi?" tanyanya pada Santi.
"Gue nggak pesen, die aje tuh," jawab Santi.
"Oh ... pakai toping atau enggak?" tanyanya padaku lagi.
"Pakai," jawabku lagi.
"Topingnya apa? Telur? Kerupuk? Apa ayam?"
"Kerupuk."
"Kerupuknya mau di tabur? Di taruh pinggir? Atau di pisah?"
"Tabur."
"Mau pakai piring atau mangkok?"
Aku melotot ke arahnya. Senyum terpaksa aku lemparkan padanya yang tersenyum tak berarti padaku.
"Piring, Bang," jawabku menahan emosi.
"Oh, oke," ia mencatat pesananku ke bukunya, "minumnya?"
"Air mineral."
"Botol apa gelas?"
"Botol."
"Botolnya kecil atau besar?"
"Ya ampun Bambang!" teriakku tak tahan emosi.
Ia nyengir sambil berlalu meninggalkan kami. Tapi baru berapa langkah ia berbalik lagi sambil menatap ke arahku.
"Tadi air mineralnya botol kecil apa besar?" teriaknya.
"BESAR!" teriakku marah, "gue gibeng juga lu!"
Bambang berlari menuju dapur memberikan pesananku pada ibu kantin. Santi? Ia asik dengan ponselnya. Ah tu anak kalau sudah melototin ponselnya, ada gempa juga dia nggak bakalan kerasa.
"Liat apa sih?" tanyaku penasaran.
"Ini ... ternyata yang meninggal kemaren itu bukan korban pertama," ujarnya masih fokus ke layar hape.
"Gue tahu, kan dibahas di tivi kemaren," ujarku malas.
"Serem ya, sampe kering gitu," ujarnya bergidik, "eh tapi korban dari kota lain memiliki riwayat hidup yang sama lho,"
"Oya? Apa?"
"Sama-sama pelakor," jawabnya berbisik.
"Tahu darimana kalau mereka pelakor?" tanyaku heran, "jangan asal ngomong lho, ntar jatuhnya fitnah," tegasku.
Masa iya mereka semua pelakor, tau darimana coba? Kita kenal aja enggak, ya khan?
"Gue nggak asal ngomong, Mir, gue ada kok buktinya," tegas Santi.
"Mana coba gue lihat?" desakku.
"Bentar-bentar," jawabnya.
Santi mengotak atik ponselnya lalu menunjukkan padaku sebuah foto. Itu foto korban semasa masih hidup, bergandengan mesra dengan seorang om-om.
"Bisa aja itu bapaknya, atau omnya," ujarku.
Santi kembali mengotak-atik ponselnya dan membuka kanal berita.
"Nih, lu baca deh, itu semua ada disitu," ujarnya sambil menunjuk ponselnya.
Perlahan kubaca kanal berita kriminal di sebuah situs internet. Disitu di jabarkan siapa saja yang sudah menjadi korban.
Aku serius membaca informasi tersebut. Mereka yang menjadi korban rata-rata masih anak kuliah dan sekolah menengah atas. Sugarbaby kalau anak jaman now bilang. Apapun sebutannya mereka tetaplah perusak hubungan pernikahan orang lain. Kukembalikan ponsel tersebut ke Santi.
"Gimana? Loe percaya kan sekarang, kalau mereka yang jadi korban itu pelakor?" tanyanya antusias.
"Iya, iya, gue percaya," jawabku malas.
"Hiiy ngeri deh," ujar Santi bergidik.
"Makanya jangan jadi pelakor, ntar diisep," candaku.
Santi sedikit tertawa, tapi aku tahu di matanya tersirat kekhawatiran. Entah ia khawatir tentang apa. Aku menyandarkan tubuhku di kursi sambil menghela nafas panjang. Pelakor, aku paling benci kata-kata itu. Bagus deh kalau ada yang matiin tu pelakor, biar nggak ada lagi yang berani jadi pelakor.
"Eng ing eng ... Pesanan datang," ujar Bambang meletakkan pesananku di atas meja, "mie goreng, pake piring, pake kerupuk tabur plus air mineral botol besar,"
"Makasih, Bang," ujarku.
"Sama-sama," jawabnya tersenyum.
Aku melahap mie gorengku dan Santi masih saja sibuk dengan ponselnya. Hmm bodo amat dah, yang penting gue kenyang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Pelakor , Karya : Pudji Kartikawati
HorrorMisteri mayat yang ditemukan kering, layaknya manusia kehabisan darah. Siapakah mereka? Siapakah pembunuhnya?