Bagian 2

644 24 2
                                    

"Jangan ambil ayahku, Tante," pintaku mengiba.

Tapi ia malah meraih tanganku dan melepas paksa dari lengan ayahku. Ia terus menarik ayah menjauh dariku.

"Ayah! Ayah!" teriakku berusaha mengejar Ayah.

Tapi ibu sigap meraih tubuhku dan memelukku erat. Ia sibuk menenangkanku yang menangis meraung di tepi jalan.

"Sudah Nak, biarkan mereka pergi," ujarnya terisak.

"Tapi Ayah, bu ... Ayah ... Ayah jahat!" teriakku sambil terisak.

"Sudah ... sst ...." ujar ibu lagi menenangkanku.

  *****

Aku terbangun dengan terengah-engah. Peluh bercucuran dan menetes dari dahiku. Kuambil botol air mineral yang selalu kuletakkan disisi kasur. Setelah menenggaknya, aku bangkit dan menuju kamar mandi. Kucuci mukaku berkali-kali. Akhir-akhir ini entah kenapa bayangan masa kecilku selalu menghantuiku. Berkali-kali aku memimpikan Ayah yang meninggalkanku dan ibuku. Tapi itu bertahun-tahun yang lalu, saat usiaku masih tujuh tahun. Dan sekarang usiaku menginjak dua puluh tahun. Namun kejadian masa lalu itu membuat trauma tersendiri di dalam hidupku.

Kuusap mukaku yang basah dengan handuk. Tiba-tiba sudut mataku menangkap bayangan hitam yang melintas di belakang tubuhku. Aku berbalik sambil meraih gayung di tepi bak mandi. Perlahan berjalan keluar kamar mandi sambil mengendap-endap.

'Siang-siang mau maling rupanya,' bathinku.

Perlahan aku mengintip keluar kamar mandi, tapi sepi. Kembali aku melangkah ke arah pintu kamar dan meraih kuncinya.

'Masih terkunci?' bathinku heran,'lalu bayangan siapa itu?'

Belum selesai keterkejutanku, lagi-lagi bayangan itu melesat di belakang tubuhku. Reflek aku membalikkan badan masih dengan gayung di tanganku.

"Siapa!" teriakku.

Hening, tak ada sahutan. Jantungku mulai berdegup tak beraturan. Keringat kembali membasahi keningku. Kuraih kembali kunci yang menempel di pintu, berusaha membukanya. Aku berbalik dan menekan-nekan handle pintu yang terasa susah untuk di buka. Dan dari cermin yang sengaja kupasang di balik pintu kamar, bayangan seorang nenek tua menyeringai ke arahku. Matanya tajam dengan gigi yang mulai menghitam. Ingin teriak tapi suaraku seakan hilang. Sambil memejamkan mata, aku kembali berusaha membuka pintu. Berhasil, segera aku berlari keluar dari kamar kost dan ...

"Brak! Aduh!"

Aku menabrak Santi yang ternyata hendak menghampiriku untuk berangkat ke kampus. Kami sama-sama jatuh ke tanah.

"Lu kalo jalan lihat-lihat dong," keluhnya sambil berusaha berdiri.

"Maaf, maaf, tadi di kamar ..." ujarku sambil berdiri.

Apakah aku harus cerita ke Santi? Kurasa tidak, dia kan penakut, bisa-bisa aku di tinggal lari ntar. Kuurungkan niatku untuk memberi tahunya.
Santi berkali-kali menepuk-nepuk celananya yang kotor terkena tanah ketika jatuh tadi. Tentu saja dengan mulut yang tak berhenti menggerutu.

"Lho, malah ngalamun dia," ujarnya menepuk pundakku, "kuliah nggak sih? Ini udah jam berapa? Ntar telat!"

"Iya, tadi juga mau mandi, tapi ..." ujarku terbata.

"Tapi apa?" ia menatapku lekat.

"Tapi ada kecoa," jawabku berbohong.

"Ya ampun!" Santi menepuk jidatnya, "sama kecoa aja lu takut?" ledeknya.

"Ye ... namanya juga takut, mau diapain juga tetep takut,"

Santi meraih tanganku dan menarikku masuk kembali ke dalam kamar. Aku celingak-celinguk memastikan tak ada lagi bayangan nenek tua itu.

"Mana kecoanya?" ujar Santi sambil membongkar seprei dan kasurku, "nggak ada gitu,"

"Uda terbang kali," jawabku.

"Ya uda, lu mandi sono, gue tungguin."

"Iya, iya, bawel."

Kuraih handuk di cantolan belakang pintu kamar dan masuk kembali ke kamar mandi. Takut, berkali-kali menengok ke belakang.
Selepas mandi dan berganti pakaian, aku menyiapkan beberapa buku yang hendak ku bawa ke kampus. Setelah semua siap, aku dan Santi keluar dari kamar dan berjalan menuju kampus yang letaknya tak jauh dari tempat kost.

Darah Pelakor , Karya : Pudji KartikawatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang