‹Prolog›

118 17 1
                                    

Peringatan! Terdapat adegan yang mungkin akan mengganggu seperti pikiran melukai diri sendiri, mohon diingat bahwa semua yang terjadi di dalam cerita ini adalah murni fiksi, dan kebijaksanaan pembaca dalam membacanya. Terima kasih.

-: ✧ :-

-: ✧ :-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-: ✧ :-

Pernah rasanya bernapas, tapi tidak benar-benar hidup?

Itulah Tara.

Dia mungkin memiliki beberapa orang yang peduli dengannya. Hanya saja, bagaimanapun, dia sadar, dia kesepian. Terutama sejak kejadian delapan tahun lalu.

Hari itu petir menggelegar di langit bersamaan dengan hujan lebat. Semakin lama, kilat berubah menakutkan. Seorang bocah perempuan sampai terbangun karena bunyinya. Matanya masih terasa kantuk saat jantungnya berdegup kencang. Turun dari kasur, dia terus menggumamkan nama yang sama.

"Ibu ... Ayah ...."

Tidak ada yang menjawab. Dengan pandangan yang sedikit buram, dia berusaha melihat sekeliling kamar gelap. Baru sadar tidak ada orang tuanya. Apakah mereka sedang di luar kamar? Aneh. Kenapa mereka keluar pada tengah malam seperti itu?

Sampai di ruang tengah, dia intip tirai. Benar-benar cuaca yang mengerikan. Gelap, nyaris tidak tampak apa-apa. Lebih mengenaskannya lagi, dia memang sendirian di rumah. Bagi seorang bocah berusia sembilan tahun, tidak dapat menemukan siapa-siapa di rumah pada situasi seperti itu adalah mimpi buruk.

"I—ibu ..." Lagi, yang dia dengar hanya gema suaranya sendiri.

Sebuah dering panggilan berbunyi dari kamar. Bocah itu lari mengangkatnya. Ponsel yang diberikan orang tuanya itu menyala dengan nama yang dia dari tadi cari. Tangan dan dadanya bergetar hebat. Dua matanya mulai berlinang, dia sudah tahu apa yang akan diucapkan ibunya adalah hal buruk, tapi, dia harus tetap mendengar.

Dugaannya benar. Tangis ibunya meledak di balik telepon. Bocah itu jatuh terduduk. Dia juga menangis. Di lantai dingin dengan wajah yang dipendam antara lengan dan lutut. Isakan kencang itu meneriaki dua orang tuanya agar kembali pulang. Sayangnya, itu sia-sia. Hal itu tidak akan terjadi karena orang tuanya telanjur memilih jalur yang salah.

Ibu dan ayahnya terlibat sebagai pengedar obat-obatan terlarang. Kemudian, hari itu adalah hari terakhir dia melihat wajah orang tuanya sebelum mereka masuk ke dalam jeruji yang menakutkan.

***

Seberisik apa pun suara-suara di sekeliling Tara, yang dia dengar hanya bisikan menyedihkan: kamu sebenarnya tidak pantas lagi berdiri di dunia. Dunia butuh penghuninya yang berguna. Dunia butuh suara-suara yang bahagia. Jadi, Tara merasa tidak dibutuhkan.

Seperti sekarang, suara pekikan terus meneriakkan sebuah nama. Raut wajah cemas segerombolan murid di depan gerbang terarah pada seorang tubuh mungil yang berdiri di tepi jalan. Mereka berusaha menghalangnya untuk pergi. Dia juga mendengar dengan jelas.

Tara Menunduk, dia pasang cengiran, lucu karena mereka baru cemas untuk saat-saat seperti ini. Tangannya mengerat, menghalau dingin yang menusuk. Bibirnya bergetar. Dia tatap tetes air yang jatuh dari ujung rambut panjang dan seragamnya.

Dia ambil satu langkah maju.

Seorang pria berusia 50 tahun keluar dari mobil yang terparkir di dekat sana. "Hei, adik!" Tangannya seperti berusaha menggapainya.

Tara mengabaikan. Bayangan delapan tahun lalu kembali melintas di memori. Dia ingat takutnya. Rasa ngeri yang sama kini bercampur dengan dingin di tulang. Dia benar-benar tidak tahan.

Sungguh, dia tidak sabar menghilang. Kebenciannya pada dunia tidak pernah surut. Terutama sesuatu yang baru saja terjadi padanya. Pulang sekolah barusan, segerombolan murid perempuan mengguyur Tara seember air es. Menguncinya dalam toilet sampai petugas kebersihan yang menemukannya 15 menit kemudian. Juga, setelah keluar, tidak ada yang bertanya apakah dia baik-baik saja, malah sebagian besar menertawakan.

Itu kenapa Tara tahu seruan cemas dari mereka sekarang tidak bisa dipercaya. Itu memuakkan.

Dia ambil langkah kedua. Tidak ada lagi takut bergelayut; langkahnya pelan, tapi pasti.

Bunyi klakson menggelegar sepanjang jalan. Ditutupnya mata dan satu per satu memori menyakitkan di kepala dia kosongkan. Mencapai napas panjang, rintik air mata berjatuhan.

Terdengar embusan angin. Itu yang dia rasakan sebelum melangkah ke sebuah mobil yang melaju ke arahnya.

Hening. Seharusnya dia sudah tergeletak tidak berdaya di tengah jalan. Seharusnya dia tidak merasakan apa-apa lagi dengan tubuh tidak bernyawa. Namun, terdengar satu suara: deru napas memburu yang menyentuh ujung kepalanya. Dia hanya merasakan sebuah sentuhan: lengan gemetar yang menggenggam erat pundaknya.

Tara membuka mata sedikit demi sedikit. Sekujur badannya lemas. Tidak mampu memberikan reaksi. Gelisah apakah yang dilihatnya sekarang adalah kenyataan atau hanya mimpi.

Selama menjalani hidup di sekolah, Tara sadar diri. Dia tidak lebih dari sosok yang seakan tidak pernah ada. Peluangnya untuk dipedulikan oleh orang lain hanya nol persen di sana. Namun, dia juga tidak buta. Dia tidak sedang berhalusinasi bahwa barusan ada yang menariknya ke tepi jalan dan menggenggamnya. Paras laki-laki bergaris wajah dingin, menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan.

-: ✧ :-

◝(ᵔᵕᵔ)◜Hai, hai! Ketemu lagi!

Pertama-tama, yang mau saya kasih tahu: karakter ini berhasil terlahir karena karibku, V. Terima kasih banyak kepadanya, karena sudah mau membagikan ceritanya yang menjadi aspek cukup besar bagi karakter ini.

Siapa memangnya si karakter ini? Ayoo ketemu di bab-bab selanjutnya, ya!

Tanpa V, karakter ini nggak mungkin sempurna. Terlebih latar belakangnya dan juga sebagian sifatnya yang kuat dan tahan banting.

Uhm, tapi, jangan lupa juga kalau ini tetaplah fiksi ya teman-teman ... Alur cerita dan beberapa sifat lain itu murni fiksi! Hanya saja ya kembali lagi, cerita ini ada karena dukungan karakter yang lahir dari ceritanya teman saya, V. Big love! 💓

Terima kasih untuk teman-teman yang hadir ke lapak ini ✨

Apakah cerita ini membuat kalian tinggal atau cuma singgah, tergantung selera masing-masing😉

Cerita ini juga nggak bermaksud dibuat menjadi cerita yang sempurna, dan nggak akan mungkin! Ya ... asik-asikan saja!

Warning!

Cerita ini menggandung beberapa pengalaman berpengaruh bagaikan depresi dan seperti adegan yang ada di prolog, adegan yang cukup sensitif, ya, teman. Hanya saja, tenang, tidak akan ada adegan melukai diri sendiri. Sisanya hanyalah emosi dan cerita para karakter yang dipermainkan.


Sebelum kita berpetualang ke halaman selanjut-lanjutnya, pastikan hati dan jiwa kalian kuat dengan scene baper, sedih, dan mengharukan!

Oke sip! Segitu aja salam pembuka dari saya. Maaf, nggak romantis pembukanya, tapi ya asyikkan saja, kan?

-pembaca meninggalkan lapak karena Author-nya mereng-

Secercah dari SegalanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang