Ghifar "Nay, skenario apa ini?"

114 6 0
                                    

Tenaga medis berkurang, tapi orang-orang yang sakit masih harus dijaga dan di rawat. Banyak perawat yang akhirnya pergi meninggalkan shif demi pergi ke rumah sakit rujukan Corona. Hingga yang berjaga di IGD hanya aku dan satu orang perawat.

Wabah ini memang berbahaya. Kita sudah terlambat sejak awal. Seharusnya kita tidak memandang remeh wabah ini. Tapi memang suara penegak hukum kadang mempengaruhi kebijakan dan mental rakyat. Akhirnya bukan cuma penguasa yang abai, rakyatpun ikut abai.

Diliburkan, eh meliburkan diri. Namun diantara itu ada yang membuat sedih ketika melihat mereka yang bekerja, harus terus keluar demi sesuap nasi. Mempertaruhkan nyawa untuk keluarga.

Mau berharap apa dari keadaan saat ini? Kalau lockdown, mau makan apa? Negara tidak pernah berencana memberikan bantuan pangan. Kontras bedanya dengan masa kekhilafahan Umar Bin Khattab. Lockdown terjadi namun pangan juga diberi.

Karena bila isi perut terpenuhi, orang-orang akan mudah dikendalikan. Itulah letak dasar kepemimpinan kita. Bila dengan islam, syariat menjadi acuan. Bila demokrasi, keuntungan yang menjadi standar.

Aku akhirnya masuk ke pos jagaku untuk mengambil barang. Karena shiff ku sudah selesai. APD juga sudah kulepas. Harusnya Karin sudah berjaga sejak tadi. Tapi kemana dia? Dan memang baru kali ini IGD benar-benar gak ada orang.

Eh, Siapa tuh berdiri didekat meja. Sudah tau lagi pandemi begini, masih aja ada yang datang ke IGD. Iseng kali dia mau minta nomer Hpku. Bukannya sombong, tapi emang begitu biasanya. Aneh-aneh aja sih perempuan jaman sekarang. Izzah dan iffahnya kurang dijaga.

Biasanya mereka yang ke IGD tuh cuma nanya-nanya abis itu minta nomer Hp. Kalau beneran sakit mah jelas ada. Tapi seringnya iseng gak jelas.

Pakai masker segala.

"Nama?" Tanyaku jutek. Saat sudah berada didekatnya.

"Nayla Ramadhani" aku terdiam. Seperti mengenal suara ini, nama ini. Jangan-jangan. Aku Mengamatinya dengan seksama. Sulit mengenalinya dengan masker yang menutupi wajahnya. Namun saat masker itu terbuka. Ah benar, aku tersenyum simpul. Sepeeti menemukan barang hilang yang kusayang. eh. itu gimana yah? Jadi...

"Nay?" Aku bertanya. Dia memang orang yang ku kenal. Orang yang dulu pernah kusakiti. Orang yang membenciku setengah mati.

"Iya duh... Allah... Astaghfirullah... innalillah. Dok, ini perut sakit banget. Astagfirullah. Banyak dosa ini. Innalillah Allahukbar" Racaunya.

Dia merintih kesakitan. Logat bahasanya masih sama. Satu pesan masuk ke hp ku. Saat kubuka, Karin izin datang telat. Anakya masih rewel. Dia akan datang pada jam malam dan memintaku menggantikannya. Kubalas pesannya dengan, Ya.

Kulirik Nay yang sedang sakit. Skenario apa nih?

"Ikut saya" pintaku. Aku mencoba menenangkan diri. Bagaimana pun orang didekatku ini adalah Nay. Perempuan yang mengisi ruang hati di masa laluku.

Dia mengekor dengan tenang. Jangan-jangan dia tidak mengenaliku. Mungkinkah dia sudah tidak semarah dulu. Mudah-mudahan dugaanku benar. Batinku harap-harap cemas.

Akhirnya dengan menenangkan diri aku mencoba
merawatnya dengan baik. Hanya aku dan dia. Rasanya janggal. Tapi emang perawat lagi gak ada. Tadi sih izin sebentar.

Aku sih... enjoy. Astaghfirullah. Gak bener ini. Aku harus cari perawat lain.

Akhirnya kutemukan, dia mbak Priska, 4 tahun lebih tau dariku. Sudah menikah. Dia orang yang paling sering menamiku check pasien. Sedikit banyak, dia paham terhadap kholwat dan ikhtilat.

Berulang kali kulihat mbak Priska kesulitan mencari nadinya Nayla. Aku tidak kuat melihatnya meringis kesakitan.

"Biar saya" putusku gak tega. Aku mengambil alih jarum dan siap menyuntiknya. Kulihat ekspresinya yang ketakutan tapi sok tegar. Ni anak dari dulu sampai sekarang gak berubah. Masih aja pura-pura tangguh. Keren sih. Bukan pura-pura untuk mengelabui tapi berpura-pura untuk membangun sikis yang kuat, dia sedang bersugesti.

Dirumah Sakit Aku MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang