Ketika masuk SMA, namaku berada di nomer urut kedua. Si superrior, Iqbal Ghifary yang menempati peringkat pertama. Pun sama dengan urutan nilai UN dan nilai Ujian Masuk. Benar-benar kebetulan yang mengerikan. Aneh sih, pas daftar masuk, nilai UN jadi acuan. Lalu berlanjut pada ujian masuk di hari pertama. kami serempak mengadakan dua ujian. Psikotes dan Ujian Mapel. Katanya buat grade. Tapi entah kenapa si superrior gak ada dikelas kami, dan malah ada digerombolan anak-anak dengan nomer urut terakhir, 91 - 120. Iseng kali tuh anak. Padahal dia harusnya sekelas dengaku.
"Itu dia si peringkat pertama" bisik Zaskia.
Hal pertama yang muncul dibenakku saat melihat sosoknya adalah, kurus sekurus khas anak SMA. Tidak terlampau tinggi, tidak pula rendah. Tapi bila aku disejajarkan dengannya pastilah dia nampak menjulang tinggi. Ini karena aku yang emang mungil.
Wajahnya kalem. Khas anak pendiam. Tapi tidak sedikitpun terlihat seperti kutu buku. Beberapa kali aku tanpa sengaja melihatnya di kantin. Dilobi kelasnya. Dijalan. Diteras laboratorium MIPA. Di lab bahasa.
Kesimpulanku akannya, dia tertawa tapi tidak terbahak. Dia bukan center of children, tapi keberadaannya dinanti teman-temannya. Bukan tipe korban bullying. Ya enggaklah. Dicintai banget kayaknya. Jadi penolong kelas buangan. Sadis, tapi begitulah orang-orang menyebutnya. Karena ingin merhbah pola jahad itulah mungkin dia menjadi sangat dihargai.
Atau.. karena dia anak orang kaya?
"Ayahnya dokter, mamanya guru, kakaknya sekarang fokus di FKUI, jurusan kedokteran. Dikota kecil kita, ruko mereka ada 3. Rumahnya yang paling besar dekat pusat kota" kata Kikan teman mainku yang senang berbagi informasi tanpa diminta.
Mungkin. Mungkin karena itu. Tapi, what? Jadi tanpa sadar aku memperhatikannya selama ini?
Enggak. Enggak. Aku enggak memperhatikannya. Aku hanya kebetulan terus melihatnya. Ok, dia emang ku notice sejak awal. Makanya dimana pun dia berada aku jadi menyadari keberadaanya.
Serius. Hanya itu. Gak lebih. Itu juga karena Kikan yang ngasih informasi kalau dia 3 kali berturut-turut menjuarai angkatan kami diawal masuk sekolah. Karena saat itu aku tidak terlalu peduli pada grade kami. Hal-hal yang belum berpengaruh pada beasiswaku aku tidak akan meliriknya.
"Kamu kenapa sih pilih kelas terbuang?" Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka. Iya benar, kenapa malah ke kelas paling lemah gradenya. Motifnya apa coba?
"Biar aku bisa jadi juara satu terus" dan yang lain tertawa mendengar jawabanya. Dasar manusia iseng. Batinku sembari tersenyum. Mungkin dia ingin meramaikan kelas terbuang itu. Aku juga ingin bertindak bebas sepertinya. Aku hanya tertarik pada matematika. Tapi demj beasiswa aku harus mempelajari semuanya.
Namun untuk kesekian tahun berikutnya. Jawabannya saat itu membuatku kesal. Apalagi setiap kali dia mendapat juara satu dan aku juara dua.
Kenapa saat itu aku berprasangka baik pada jawabannya?
Dasar sombong. Tapi itu kataku yang tak ingin kalah. Karena bagaimanapun aku tidak pernah diajak bersaing olehnya. Dan jujur, dia yang memilih dikelas buangan itu cukup menghangatkan hatiku. Dia bertindak sesuai kehendaknya. Dia yang ingin mematahkan bahwa angka tidak akan membuatmu pintar dengan pemikiran kasta ala anak SMA. Ya kasta dalam nilai akhir sekolah.
_
Aku tidak kagum, tidak pula membenci. Tapi sejak tanpa sengaja memergokinya menertawakanku. Aku tanpa sadar mulai membenci keberadaannya.
"Kamu gak mau jadiin Nayla pacar? Cocok loh, dia juara dua, kamu juara satu. Sepaket kan?" Itu suara Gilang sekelasku. Dia teman akrab Ghifar. Lihat aja kini mereka berdua menggosipkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirumah Sakit Aku Menikah
RomantizmJust #10 Part Ditengah kemelut Covid-19, aku terserang ISK. Ngeri. Tapi, 2 hari setelahnya aku menikah. Heeeeeh? . . Bam! "Kalian pikir aku barang?" (Ingatan masa SMA)