Chapter 1 : Ingkar

5.7K 269 29
                                    

RINTIK hujan menemani Naruto yang tengah terduduk manis di sebuah kursi kayu. Sesekali wanita itu menyamankan posisi syal merah yang melilit di lehernya.

Manik safirnya yang semula memandang tenang pada tetesan hujan, kini membulat dengan ekspresi bahagia hingga senyuman pun tak bisa wanita itu tahan saat sebuah sedan hitam memasuki halaman rumahnya—terutama ketika pria yang mengendarai mobil itu keluar dan menghampirinya.

"Okaeri, Sasuke-kun." Naruto menghamburkan diri pada pelukan pria itu. "Aku benar-benar merindukanmu," lanjutnya dengan intonasi lirih namun manja.

Sasuke tertawa kecil mendengarnya. "Ucapanmu itu seolah-olah kita jarang bertemu," sahutnya seraya mendekap tubuh Naruto. "Sejak kapan kau di luar?"

"Sejak kau mengirimiku pesan bahwa kau akan datang," Naruto mengulum senyum malu-malu saat Sasuke membawa tubuhnya ke dalam gendongan bak seorang pengantin baru.

"Dasar nakal! Sudah kubilang tunggu saja aku di dalam. Di luar 'kan hujan. Bagaimana kalau kau masuk angin?" gerutu Sasuke sembari membawa masuk Naruto ke dalam rumah dan mendudukkan wanita itu di atas sofa beludru yang hangat. "Kau bisa sakit, Sayang," ujarnya sembari mengelus kedua pipi pualam Naruto.

Bibir ranum wanita pirang itu bergetar saat hendak tersenyum, bahkan senyumannya pun terlihat amat getir. Membuat hati Sasuke tak nyaman melihatnya. Sasuke tak suka jika Naruto sudah tersenyum seperti itu. "Tidak apa-apa. Aku bahkan selalu berharap untuk jatuh sakit."

Kedua alis tajam Sasuke mengernyit bingung. "Kenapa? Kau ini memang aneh. Orang lain ingin selalu sehat kau malah berharap—"

"Karena jika aku sakit, Sasuke akan selalu ada di sampingku." Naruto menyela cepat. Kedua manik birunya berkaca-kaca. Perasaan terluka begitu terlukis jelas di sana. "Sasuke tidak akan pergi. Sasuke tidak akan membiarkanku sendiri di rumah ini. Sasuke tidak akan membiarkanku kesepian. Sasuke tidak—!" ucapan Naruto terhenti ketika rasa sesak semakin memenuhi dadanya, wanita itu tak sanggup untuk melanjutkan. Yang kini berbicara hanyalah tetesan air dari bola mata sebiru samudra miliknya. Tangisannya pecah. Naruto tidak terisak tapi air mata itu menganak bak sungai kecil di kedua pipinya.

Bagai ada himpitan kuat pada dada Sasuke hingga ia pun merasa sesak melihat Naruto yang menangis tanpa suara. "Naru ..., aku ke sini bukan untuk melihatmu menangis," Jemari besar Sasuke mencoba untuk menyeka air mata Naruto, namun tetesan bening itu menganak lagi dengan cepat. "Hentikan. Aku tidak suka melihat kau seperti ini."

Munafik. Itulah satu kata yang tepat untuk mewakili diri Sasuke. Ia tak suka melihat Naruto menangis, namun sebenarnya dia sendirilah yang membuat air mata wanita itu selalu berderai.

Naruto menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Jemari-jemari lentiknya mencoba untuk menghapus jejak air mata. "Maaf, tidak seharusnya aku seperti ini," tuturnya seraya bangkit berdiri, berjalan menuju dapur. "Tunggu. Aku akan membuatkan kopi untukmu."

Sasuke menghela napas sembari memijit tulang hidungnya. Naruto selalu begitu. Menangis kemudian menyeka air matanya sendiri dan bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa. Entah kenapa wanita itu begitu mudah menyembunyikan lagi luka dalam hatinya. Seperti sekarang, Naruto keluar dari dapur dengan membawa secangkir kopi hitam untuk dirinya. Bibir tipis berwarna pink natural itu tak pernah bosan melempar senyuman kepada Sasuke. Meski Sasuke sendiri yakin bahwa senyuman itu tak lain hanya untuk menyamarkan ekspresi sendunya.

"Terima kasih," Sasuke menerimanya seraya menarik pinggang Naruto agar wanita itu duduk di atas pangkuannya. "Kau sudah makan?"

"Belum. Aku sengaja menunggumu. Aku ingin makan bersama Sasuke." Naruto mengelus lengan Sasuke yang melingkari perutnya.

Aku Bukan Untukmu [SasuFemNaru]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang