Part 1

503 50 10
                                    

          Peristiwa penembakan seorang pianis wanita yang tampil di sebuah konser besarnya membuat publik gempar beberapa tahun yang lalu. Kematiannya membuat dunia musik merasa sangat kehilangannya. Terutama putri kecil yang ditinggalkannya yang kini sudah tumbuh dewasa dan hanya bisa mengenangnya lewat lukisan yang terpajang di dinding kamarnya.

          Gadis itu menatap nanar pada lukisan itu. Betapa dia merindukan sosok ibu yang begitu lembut, penyayang, yang selalu memeluknya dengan bangga ketika bisa menunjukkan bakat yang menurun darinya. Seseorang yang selalu menemaninya terlelap di malam hari, hingga mengajarinya memainkan alat musik.

          Kepergian ibunya menimbulkan luka yang dalam di hatinya, hingga sekarang gadis itu tidak bisa melupakan peristiwa yang telah dia saksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sang ibunda pergi meninggalkannya untuk selamanya. Tidak hanya dirinya yang merasakan luka itu, tetapi ayahnya juga. Seorang ayah yang sangat dicintainya yang sekarang sikapnya telah berubah karena peristiwa itu. Menjadi seorang pemarah bahkan melarangnya untuk memainkan alat musik terutama memainkan piano. Jika dia berbuat kesalahan sedikit pun hukuman akan diterima olehnya.

          Sebagai gadis yang tidak pernah dilarang melakukan apa pun yang disukainya di waktu kecil, kini untuk memainkan piano saja sang ayah sangat melarangnya. Tetapi hasratnya dalam memainkan piano sangat tinggi hingga dia berkali-kali melanggar dan selalu berakhir dengan beragam penyiksaan di tubuhnya.

          Gadis itu sangat kesepian. Sudah kehilangan ibunya di dunia, dia juga telah kehilangan sosok ayah yang penyayang dalam hidupnya.

          "Apa semalam kau pergi ke restoran itu lagi?"

          Seorang wanita dengan long dress bermotif bunga berdiri di ambang pintu kamarnya. Wanita cantik berambut cokelat dan berkacamata, berusia 30 tahun yang merupakan adik kandung ayahnya.

          Wanita itu masuk menghampirinya. Tersenyum lembut lalu duduk di sampingnya.

          "Kenapa Tante Alana ke sini? Bagaimana jika Ayah tahu?"

          "Tante melihat mobil Ayahmu pergi, makanya Tante ke sini."

          Gadis itu hanya diam menatap wanita bernama Alana itu.

          "Maafkan aku, karenaku Ayah juga memarahi Tante bahkan sampai melarang Tante datang ke rumah ini," ucapnya kemudian.

          Alana tersenyum mengelus rambutnya. "Tidak apa-apa. Ayahmu memang sudah gila, Sierra. Bisa-bisanya dia menuduhku yang meracunimu memainkan alat musik yang dibencinya. Ya meskipun aku yang memberitahumu tentang restoran itu," Alana terkekeh, "Sudah jangan dipikirkan ya, Tante masih bisa menemuimu diam-diam." Wanita itu menyentuh lengan Sierra hati-hati. Melihat memar di pergelangan tangan gadis itu lalu terdiam selama beberapa saat. Bagaimana seorang Ayah bisa membuat luka seperti itu pada putrinya sendiri? "Biar Tante obati lukamu, ya?"

          "Terima kasih, Tante."

          Alana membongkar kotak obat di kamar Sierra mengambilkan obat memar berupa krim. Dia mengoleskannya di pergelangan tangan Sierra dengan hati-hati. Bahkan meskipun sudah hati-hati, gadis itu tetap merintih menahan perih. Alana tidak habis pikir dengan kekejaman kakaknya sendiri.

          "Sierra, Tante mohon, jangan membuat Ayahmu marah lagi hingga membuatmu berakhir seperti ini."

          Sierra menghela napas pelan. Gadis itu pun menggeleng, "Aku hanya ingin merasa bebas, Tante. Apa pun yang kulakukan selalu salah menurut Ayah. Aku pergi ke restoran itu hanya untuk menghibur diriku sendiri. Ketika memainkan piano, aku merasa Bunda bersamaku, aku mencintai dunia seperti itu. Tidak peduli ketika kembali pulang Ayah akan menghukumku."

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang