Part 2

263 43 2
                                    

          Sepulangnya dari tempat bekerja, Sierra menatap horor pada mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Mendadak degup jantung Sierra lebih cepat mengetahui Ayahnya sudah pulang. Sierra membuka pintu melihat lampu ruang utama sudah padam, kemudian menutupnya dengan sangat hati-hati menghindari suara deritan. Gadis itu melangkah mengendap-ngendap seperti seorang pencuri di rumahnya sendiri. Hingga sesaat kemudian ketika dia sedang melepas sepatunya, tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya.

          "Dari mana saja kau, Sierra?"

          Di ujung tangga, tampak seorang pria berbadan tegap berdiri dengan pakaian tidurnya yang serba hitam, nyaris seperti sebuah siluet menyeramkan di kegelapan. Ayahnya kemudian menyalakan lampu ruangan menatap Sierra dingin. Membuat gadis itu terpaku membiarkan sang ayah mendekat dan berdiri di hadapannya.

          "Ayah, maafkan aku."

          Tanpa mengindahkan suara lirih Sierra, pria itu membentaknya, "Ayah pikir hari ini kau tidak akan memancing kemarahan Ayah lagi! Sudah berapa kali Ayah katakan jangan pernah memainkan piano lagi!"

          "Ayah... aku-" tiba-tiba pria itu mengangkat gelas yang sejak tadi berada di genggamannya ke wajah Sierra. Menyiram wajah gadis itu dengan air dingin tanpa perasaan dan membuang gelas itu ke lantai. Suara pecahannya membuat Sierra berjengit kaget lalu diam membisu, gadis itu sangat mengerti penjelasan apa pun tidak akan membuat Ayahnya itu menahan amarahnya.

          "Pembangkang! Kau sama sekali tidak mendengarkan larangan Ayah!"

          "Sini kau!!" kemudian pria itu menyeret Sierra. Gadis itu kembali menahan rasa perih di pergelangan tangannya akibat cengkeraman Sang Ayah, ditambah lagi kakinya menginjak pecahan gelas yang dibanting olehnya. Seketika lantai pun penuh dengan jejak darah yang mengalir dari kaki gadis itu.

          Tubuh mungilnya didorong hingga terjatuh ke lantai kamarnya. Hingga gadis itu bersimpuh di bawah lukisan Ibundanya.

          "Lihat Bundamu! Kau pikir dia tidak ada lagi di sini karena apa hah?!" suara yang memekakkan telinga itu lagi-lagi membuat Sierra terkejut.

          "Ayah sudah melarangnya untuk tidak mengadakan konser itu lagi, tapi apa yang terjadi? Bundamu tetap pergi lalu dia pun dibunuh!!" pria bernama Edward itu tampak tidak bisa mengontrol emosinya. Membuat tubuh Sierra gemetar ketakutan.

          "Sudah ada peringatan untuknya melalui surat misterius bahwa dia harus berhenti bermain piano jika tidak dia akan dibunuh!"

          Sierra melihat tatapan Ayahnya itu begitu menyeramkan. Dan gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa.

          "Tetapi apa kenyataannya? Bundamu tetap tidak ingin meninggalkan karirnya itu! Dan sekarang kau juga sama keras kepalanya dengan Bundamu, Sierra?!"

           Air mata Sierra tak tertahankan, mengalir dengan derasnya. Tiba-tiba saja Ayahnya merenggut rambutnya dengan kencang. Menarik paksa agar Sierra kembali menatap ke arahnya. "Jika Ayah mengatakan berhenti, maka berhentilah, kau mengerti?! Dan bukannya malah tampil di hadapan banyak orang memainkan alat musik sialan itu, Anak sialan!!"

          "Ti-tidak, Ayah... aku mencintai musik piano... Ayah tahu bagaimana aku-."

          "Persetan dengan cinta!! Kau bisa melakukan hal lain dibanding bermain piano!!"

          "Kenapa Ayah berbicara seperti itu padahal Ayah sangat mencintai Bunda..."

          "Aku tidak bisa, Ayah... Aku tidak bisa berhenti bermain piano." Sierra merasa sangat kesakitan karena rambutnya ditarik dengan sangat kuat kemudian kembali didorong oleh pria yang sangat disayanginya itu.

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang