Jangan terjerat antara halu dan imaji. Mereka jahat, karena membuatmu menjadi seorang pengharap!ㅣㅣㅣ
Hanya butuh waktu dua hari untuk keduanya bisa akrab, jauh diluar dugaan Janu yang sebenarnya susah untuk bersosialisasi dengan orang baru, namun nyatanya ia senang perawat pria yang ia panggil 'Mas Fasa' itu begitu friendly dan ramah padanya.
Meski pertemuan mereka hanya saat jadwal minum obat Janu dan sesekali saat waktu istirahat perawat, Fasa mampir kesana.
Sama dengan saat ini, sore hari waktunya Janu diberi obat, masih dengan perawat yang sama, Fasa datang membawa peralatan nya dengan tersenyum teduh, bersama seorang dokter yang selama ini menanganinya, berjalan menghampiri.
Janu tersenyum, sengaja menutupi sakit yang tiba-tiba muncul, wajahnya yang memucat tanpa sadar, menghampiri rasa cemas kedua orang dihadapannya.
"Janu kamu, baik-baik aja, kan?" Janu terkekeh kecil mendengar pertanyaan yang dikeluarkan pada sang dokter yang tampak khawatir padanya.
"Sejak aku masuk rumah sakit ini, aku gak pernah merasa baik-baik aja dok. Aku malah merasa jadi anak yang penyakitan, selama hampir dua minggu ini." Jawaban dari Janu melesat menusuk rasa iba dikedua pekerja rumah sakit itu, bahkan senyum yang Fasa tampilkan luntur mendengar ucapannya tadi.
"Yang sabar ya, Janu. Kalo kamu kuat, pasti bisa sehat. Semangatlah untuk kesehatanmu." Dukungan dari Dokter yang sudah ia anggap pamannya sendiri, bahkan hanya membuatnya mengembang senyum tipis. Ia mengangguk kecil, meski dilubuk hatinya berkata lain.
Sebab, ia tahu ucapan yang sebenarnya untuk membuatnya merasa bahwa masih ada harapan, malah semakin menjatuhkan karena Janu sendiri tahu apa jawaban yang sebenarnya.
ㅣㅜㅣ
"Mas Fasa!"
"Ya?" Sahutnya, masih sibuk dengan kegiatannya memberi obat pada Janu
"Besok, keluarga ku bakal kesini lho!" Girang Janu mengalihkan atensi Fasa sebentar yang lalu kembali menyuntikkan cairan di selang infus Janu.
"Oh, benarkah? Pasti kamu seneng banget." Balasnya menyahuti. Janu terkekeh.
"Iya dong! Aku jadi gak kesepian lagi, dan aku yakin mereka bakal bawa banyak cemilan, aku udah lama gak makan yang manis-manis." Fasa tersenyum mendengarnya, ada sedikit rasa lega saat Janu bicara dengan nada seceria ini, ia harap Janu akan tetap ceria seperti ini.
Namun, ekspetasi memang tak seindah realita.
Esoknya Fasa datang kembali, tepat disore hari dijadwal yang sama seperti sebelumnya, dengan atmosfer berbeda.
Suasana ceria yang Fasa harapkan sejak mengenal Janu, saat itu menghilang meninggalkan Janu kembali bersama kesepian.
Selama perawatan, pasien yang ia anggap adik sendiri itu hanya berdiam diri , tanpa ingin membuka suara sampai Fasa menyelesaikan tugasnya.
"Janu, kenapa?" Tanya pelan Fasa, berusaha tidak semakin memperparah atmosfer tak menyenangkan yang Janu buat.
"Aku senang orang tuaku datang." Ucapnya tetap memalingkan wajahnya pada Fasa, Janu menatap jendela diruangannya. Tanpa Fasa ketahui, Janu sedang memandang luas, bersama hatinya yang kembali ditemani angan-angan kecilnya.
"Aku juga senang mereka bakal bawa cemilan untukku, tapi.." ucapan Janu terhenti saat ia menghembuskan nafas berat, ia lalu memandang Fasa dengan tersenyum miris, siratan kekecewaan Fasa tangkap dikedua netra Janu.
"Aku gak tahu kalau, mereka bakal sesingkat itu buat menjengukku." Tak ada tangisan apapun, tak ada air mata siapapun, Janu terdiam lama setelah mengungkapkan kalimat yang tanpa sadar juga menoreh di lubuk hati Fasa, ia merasa kasihan juga merasakan seberapa besar rasa kesepian yang selama ini Janu hadapi.
"Mas Fasa.." panggil Janu kembali menarik atensi Fasa, yang sempat melamun. Ia melihatnya, meski dengan tatapan kecewa, remaja yang masih duduk di bangku SMP itu tengah tersenyum, mencoba terlihat kuat di hadapannya.
"Mas Fasa... Jangan ninggalin aku ya?" Tepat disaat itulah, Fasa langsung menarik Janu pada pelukannya, ia tak tahan mendengar kalimat yang remaja itu katakan sejak tadi.
Air mata pun menjadi pesan bagaimana seorang Janu yang tadi berusaha terlihat kuat, langsung meluruh kala dekapan yang menyalurkan rasa hangat ia dapatkan dari seorang yang sudah ia anggap sebagai kakaknya.
"Mas gak bakal ninggalin kamu, Janu. Tetep kuat ya?"
"Aku akan selalu berusaha kuat, tapi kalo gak ada yang nyemangatin gimana aku bisa—"
"Janu." Potong Fasa, beralih menyentuh kedua pipi Janu yang sudah basah menatap lekat manik mata yang sedang memerah itu.
"Ada, Mas yang akan selalu ada untuk kamu, ada Mas yang jadi teman kamu. Janu sudah Mas anggap adik sendiri. Jadi Mas mohon jangan bicara seperti itu." Ucapnya tegas dan sungguh-sungguh, Janu menatapnya sembari tersenyum tipis, tangan Fasa yang menyentuh kedua pipi Janu sudah beralih menggenggam jemarinya.
Fasa menyadarinya, tangan dan wajah yang sedang bersamanya, kini semakin lama semakin memucat seperti tak ada aliran darah yang terlihat dibalik kulitnya.
"Aku akan tetep kuat, terima kasih banyak, untuk selalu disamping ku. Lagi pula, aku juga gak mau mati saat ini—"
"Janu!" Fasa langsung menyentak nya dengan keras, tapi Janu hanya menggeleng.
"Karena aku mau buat kenangan selama aku masih bisa bernafas." Ucapnya menyungging senyumnya hingga matanya menyipit.
Janu berucap sungguh-sungguh, selama ia hidup sebanyak mungkin ia akan membuat kenangan indah, meski sesungguhnya ia tak tahu seberapa lama ia masih dapat bertahan, dirasa penyakit yang masih begitu gigih semakin lama semakin menggerogoti tubuhnya.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope with the Rain
Short StorySuatu waktu, dimana aku ingin sekali merasa bebas. Yah, bebas. Tak ada tekanan, tak ada pemaksaan, tak ada rasa yang membuatku merasa terkekang diantara rantai hubungan yang semakin lama semakin menguat.- Janu