Malam ini entah kenapa, Janu memintanya menginap di ruang kamarnya, Fasa jelas menyanggupi tapi diwaktu yang sama rasa mengganjal menyerang batinnya."Mas!" Panggil Janu dengan ceria, Fasa segera mendekat. Entah kenapa malam ini Janu begitu bahagia dengan raut muka yang.... Pucat?
"Mas Fasa!" Panggil Janu dengan intonasi tinggi, ia kemudian tergelak mendapati Fasa tersentak karena teriakannya.
"Apa? Kok belum tidur?" Janu menggeleng, ia kemudian menarik tangan Fasa menyentuh kepalanya, lalu mengusap rambutnya.
"Aku gak ngantuk, aku pengin cerita banyak hal sama Mas Fasa!"
"Hmm? Janu, tidurlah udah malam, besok saja ceritanya." Pinta Fasa dijawab gelengan oleh Janu.
"Enggak mau." Hembusan nafas Fasa keluarkan, namun respon Janu malah diluar dugaan, ia malah semakin tergelak menatap kakaknya terlihat begitu lucu dengan wajah kesalnya.
"Mas, cerita dong. Gimana saat Mas Fasa sekolah dulu?" Fasa tertegun sejenak
"Tapi..."
"Ayo, kali ini aja, buat dongeng pengantar tidur aku, ya?" Wajah melas itu lagi, Fasa kembali mendesah. Tangannya masih apik mengelus lembut rambut Janu yang terasa basah.
"Yaudah."
Mereka berdua bercerita panjang, sesekali terdengar gelak tawa dari keduanya. Janu bahagia begitu juga dengan Fasa. Kemudian hening seakan menyerang saat Janu sedikit mendesah pelan.
"Janu, kamu gak apa-apa kan?" Jelas sekali raut wajah Fasa terlihat berubah cemas, Janu sedikit kecewa. Bukan pada Fasa tapi pada dirinya, yang merusak suasana bahagia diantara mereka. Janu hanya tersenyum tipis, ia menggeleng pelan.
"Nggak papa."
"Beneran?" Angguk Janu kemudian.
"Mas Fasa, apa... Mas punya keluarga?" Tanya tiba-tiba Janu, Fasa sedikit berfikir sebelum akhirnya menjawab dengan tenang.
"Punya, Mas Fasa punya kakak."
"Orang tua?" Tanya Janu lagi, berhasil membuat Fasa bungkam. Janu yang mengerti situasi segera meminta maaf.
"Gak papa. Orang tua Mas udah meninggal saat mas masih SMA." Jelasnya kemudian, sedikit dengan nada ketir yang berusaha ia tutupi, Janu tersenyum simpul.
"Nanti, misalnya ketemu orang tua Mas Fasa, aku bakal bilangin, kalau Mas Fasa kangen mereka." Sebenarnya Fasa kurang mengerti maksud ucapan Janu, karena rasa lelah cukup menyerangnya, meski begitu ia harus tetap menahannya, menemani malam bersama Janu berhasil menghilangkan penat saat bekerja tadi.
"Mas Fasa.."
"Hmm?"
"Aku ngantuk.."
"Tidurlah Janu." Janu mengangguk, Fasa menarik selimut Janu hingga setinggi dada, Fasa masih duduk disampingnya, membuat Janu mengulum senyum bahagia bersama mata yang sedikit mulai menutup.
"Mas.. Fasa.."
"Iya, Janu.."
"Aku mau ngomong kalau.. aku sayang Mas Fasa." Hati Fasa menghangat mendengar ucapan Janu, ia kembali menguasai rambut yang entah kenapa semakin basah. Ia sempat berfikir, apakah Janu kepanasan? Tapi diruang ini malah ia merasa biasa saja.
Tapi saat Janu menarik tangannya, menggenggam jemarinya, Janu tersenyum. Benar-benar tersenyum bahagia kearahnya, hingga ia juga mengulum senyum terbaiknya, khusus untuk Janu, khusus untuk adiknya, khusus untuk pasiennya.
"Janu..." Fasa tak bisa bicara, suaranya terasa tercekat ingin keluar namun rasanya sulit.
"Mas, Juga sayang banget sama Janu." Janu hanya mengangguk, senyum bahagianya sedikit luntur, namun ia masih tersenyum. Mata teduhnya menutup, karena efek mengantuk. Dan Fasa yakin Janu memang benar-benar mengantuk.
Hingga, akhirnya rasa pesimis menggelayuti hatinya, Fasa tahu, Janu sedang tidur. Iya kan? Janu hanya tidur, ia terlalu lelah tadi, benar, kan?
Tapi kenapa tangannya sangat dingin,
Kenapa tak ada Hela nafas yang keluar,
Kenapa... Kenapa tak ada denyut jantung yang terasa.
"Ja-Janu..." Wajah Fasa kini berubah pucat, matanya penuh dengan aliran air mata, bibirnya bergetar tapi sebisa mungkin ia tetap tersenyum.
"Ti-tidurlah dengan tenang.. yah," dan kini Fasa mengerti, kenapa Janu ingin bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah meninggal, sangat tahu hingga senyumnya luruh diganti isakan kecil yang keluar.
"Juga... Sampaikan rasa rinduku.... Pada orang tua Mas..." isakannya semakin keras, hingga mengundang perawat yang kebetulan lewat di depan ruangannya, yang sadar dengan cepat menekan tombol emergency tepat disamping ranjang pasien.
"M-mas sayang... Sayaang banget sama Janu.."
Aku selalu sendiri, ditengah hujan yang gemuruh sedang menemaniku.
Disitu ada kamu, mengelus rambutku dengan tenang, menyalurkan kehangatan begitu tulus. Padahal kita bukanlah siapa-siapa.Terimakasih telah menjadi temanku.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope with the Rain
Short StorySuatu waktu, dimana aku ingin sekali merasa bebas. Yah, bebas. Tak ada tekanan, tak ada pemaksaan, tak ada rasa yang membuatku merasa terkekang diantara rantai hubungan yang semakin lama semakin menguat.- Janu