Bab 5: hujan deras

55 6 0
                                    

Rasa sakit itu selalu ada, meski kadang terasa samar. Karena aku membuatnya seolah bukan apa-apa.

ㅣㅣㅣ

Remaja itu berjalan pelan, setelah turun dari taksi yang ia tumpangi. Melewati perumahan yang cukup sepi, ia lalu berhenti tepat didepan satu rumah yang terbilang megah, tangannya mendorong pagar rumah. Berjalan lebih kedalam, lalu membuka pintu utama.

Sepi, angin semilir dari luar membuat tubuhnya sedikit oleng, pusingnya tiba-tiba datang, Janu berusaha menopang diri pada dinding.

Saat ia berjalan menuju lantai atas dimana kamarnya berada, suara wanita paruh baya mengalihkan atensinya.

"Lho, Mas Janu!" Suara nyaringnya  mengundang senyum dibibir Janu, ia lalu merentangkan kedua tangannya memeluk bibi pembantu dirumahnya.

"Mas Janu kok udah pulang?" Tanya bibi itu seraya menyerahkan secangkir teh hangat pada tuan mudanya. Janu tak langsung menjawabnya, ia menikmati teh yang sudah lama tak masuk ke lambungnya

"Teh, bibi emang yang paling enak!" Pujinya, mencoba mengalihkan perhatian, namun bibinya itu nyatanya bukan seorang yang gampang ditipu.

"Mas Janu belum jawab pertanyaan bibi." Janu tersenyum tipis, ia mengelus tangan bibi yang sedang bertengger dibahunya.

"Bibi, aku cuma mau pulang."

"Tapi, Mas—"

"Bibi, aku capek. Aku mau tidur dulu. Oh ya nanti kalau ibu sama ayah pulang jangan kabari mereka kalau aku disini." Janu masih akan berdiri, namun dirasa tak ada jawaban setuju dari bibinya, membuat Janu kembali duduk. Ia curiga akan sesuatu.

"Bibi, Ibu sama Ayah... Udah pulang kan? Kemarin mereka pulang kan? 4 hari lalu mereka datang njenguk aku dirumah sakit. Mereka sekarang kerja kan?" Pertanyaan bertubi-tubi Janu, menatap liquid bibi itu meluruh, Janu semakin bingung bersama rasa cemas melandanya.

"Mas Janu... Tuan sama Nyonya, pergi ke luar negeri untuk satu tahun kedepan, karena tugas Tuan memaksa mereka harus pergi."

Deg!

"Mas Janu! Mas Janu!" Teriak bibi, saat Janu begitu saja melenggang pergi keluar rumah.

Tubuh ringkih-nya ia paksa untuk berjalan, bersama dengan beban yang ia bawa dihatinya.

Semakin susah untuknya melangkah. Janu bersandar, saat peningnya kembali terasa, keringat dingin mulai terlihat dipelipisnya. Tapi ia berusaha untuk tetap berjalan.

Gemuruh mendung itu mulai terdengar, tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Janu sama sekali tak mengindahkan, tidak sama sekali berniat untuk berteduh.

Sudah dibilang, kan? Janu suka dengan hujan, lalu disaat kesempatan ia berada di luar ruangan, kenapa ia harus merelakan hujan yang sengaja tiba untuk menemani kesedihannya.

"Kamu datang tepat waktu banget..."  Ujarnya  tersenyum, namun hatinya berdesir kuat.

Suara guyuran hujan yang semakin deras itu menambah pilu di hatinya. Janu sama sekali tak menangis, ia berjalan tanpa tahu tujuan.

Hanya berjalan dan tetap berjalan. Karena selain rumah, tak ada lagi tempat tujuan yang spesial untuknya.

Senyum getirnya semakin menyakitkan mengingat ucapan bibi pembantu yang sukses meremukkan batinnya yang sejak awal memang tak baik-baik saja.

Janu bodoh memang, berfikir kembali kerumahnya. Ia pikir orang yang sejak dua minggu tak menemuinya akan duduk manis didalam rumah, memikirkannya yang tengah sendirian rumah sakit itu.

Nyatanya ekspetasinya sungguh dibuang dengan kejam oleh takdir, ia dipermainkan takdirnya sendiri.

Janu masih berjalan mengikuti langkah kakinya sendiri, ia sudah bingung mau kemana, sehingga teriakan lantang berhasil mengambil eksistensi sepenuhnya pada seorang yang menatapnya di bawah guyuran hujan yang mulai menghilang.

"Janu!!"

Pria itu berdiri tepat disana, sembari menenteng payung putih yang mencolok. Janu tak habis pikir, orang itu datang disaat seperti ini.

Ia tersenyum miris, kenapa angan-angan itu semakin meninggi hingga membuatnya merasakan delusi.

Janu semakin takut dengan dirinya. Ia menunduk, semakin menunduk hatinya semakin kacau, air matanya tak bisa keluar entah kenapa, membuatnya semakin tersiksa.

Hingga akhirnya sebuah sentuhan mengakhiri siksaannya.

"Ma-Mas Fasa..Mas Fasa, kan?" Kepalanya langsung mendongak, menatap pria yang kini berwajah pucat dengan manik matanya menyiratkan kecemasan. Kembali merengkuh tubuh basahnya.

"Ini beneran Mas Fasa? Aku pikir, aku lagi halusinasi. Tapi... Tapi..." Ucapnya tergagap.

"Iya, ini Mas Fasa." Dalam hitungan detik itu lah, tangis Janu keluar, ia menangis keras dibawah payung yang Fasa pegang, diantara gerimis hujan, didalam pelukan hangat kakaknya. Fasa hanya diam, menunggu Janu menyalurkan kepedihan hidupnya, lewat pelukannya, air matanya juga ikut mengalir merasakan sebagaimana sakitnya seorang Janu yang ia kenal. Hingga mulutnya membuka suara tepat di salah satu telinga Janu, yang semakin mempererat pelukannya.

"Janu, ayo kembali." Hanya anggukan pelan dari Janu sebagai balasan atas ucapan Fasa.

Tbc...

Hope with the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang