4

640 66 7
                                    

Sebelum baca, terlebih dahulu untuk menekan ikon bintang!
Selamat membaca.

Marisa tidak langsung pulang kerumah, karena Falen pasti akan tau jika dirinya sehabis menangis. Bahkan matanya saja membengkak, hidungnya juga memerah.

Kepergian Marisa bahkan tidak dipedulikan oleh ayahnya sendiri. Adi dan Khansa sibuk saat Nayya tak sadarkan diri, hingga dirinya terabaikan. Ingin menumpang, tetapi Marisa telat. Adi dengan teganya meninggalkan dirinya seorang diri.

Tapi tenang saja, Marisa tau jalan pulang kok.

Meskipun dirinya tau jalan pulang, Marisa lebih memilih untuk mengunjungi Kakek dan Neneknya. Matanya menatap nanar nama yang tertera dibatu nisan itu.

Nama : Wijaya Adinata bin Indra Adinata
Lahir : 15 Oktober 1946
Wafat : 27 Maret 2016
Umur : 70 tahun

Air matanya mulai menggenang dipelupuk mata Marisa. Matanya bergantian menatap nama yang terukir jelas di nisan itu.

Nama : Puspa Adinda binti Marni Batari.
Lahir : 12 Januari 1950
Wafat : 28 Agustus 2016
Umur : 66 tahun

Marisa bersimpuh didepan makam Jaya dan Puspa. Senyum kerinduan terlihat dibibir Marisa. Gadis itu sangat merindukan mereka, apalagi Puspa. Marisa lebih dekat dengan neneknya sendiri. Jangankan Marisa, Falen pasti sangat merindukan kedua orang tuanya yang telah meninggal.

"Apa kabar kek, nek?"

Tentu tidak ada jawaban. Marisa lagi dan lagi harus menelan pil pahit ketika Jaya dan Puspa pergi meninggal kan nya seorang diri. Bahkan Adi tidak mengetahui kematian Jaya dan Puspa. Laki-laki itu terlalu sibuk dengan urusannya untuk menikahi Khansa.

"Ini udah tahun ke-3 kakek dan nenek pergi. Apa kakek dan nenek nggak kangen Marisa?"

Lirih, suaranya begitu serak menahan tangis. Didepan nisan Jaya dan Puspa, dirinya telah berjanji untuk tidak menangis didepan makam orang yang disayangi.

Marisa tetap tersenyum, meskipun rasanya sesak saat air matanya jatuh menyedihkan. Gadis itu mengusap kasar air matanya. Tersenyum miris.

"Maafkan Marisa yang udah ingkar janji. Marisa butuh sandaran, Marisa butuh seseorang buat cerita. Nggak ada yang bisa Marisa ajak buat bicara."

Matanya menerawang, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Semilir angin menerpa lembut wajahnya. Rambut Marisa yang tergerai menari-nari dengan indah.

"Nenek tau Kevin, kan? Cowok yang suka bantuin nenek metik buah jeruk dikebun Nnnek? Sekarang Kevin udah jadi pacarnya Marisa." Gadis itu terkekeh geli. Tetapi sekelebat bayangan muncul dikepalanya.

Air matanya jatuh lagi. "Kevin dulu perhatian banget sama Marisa, tapi semenjak Marisa kelas sebelas, perhatian Kevin ke Marisa udah nggak sepenuhnya lagi."

Gadis itu menghela nafasnya pelan. "Kevin membagi kasih sayang sama sahabatnya, nek."

Memang, kisah cinta Marisa benar-benar miris. Bahkan alasan Marisa untuk tetap bertahan hidup adalah Kevin. Cowok itu selalu menyemangatinya, mengembalikan senyuman Marisa yang pernah hilang. Matanya bergantian menatap nisan Wijaya.

"Apa Marisa wajar, jika Marisa cemburu sama sahabatnya Kevin, kek? Apa yang harus Marisa lakukan biar perhatian Kevin sepenuhnya ke Marisa kaya dulu lagi?"

Marisa menatap lurus kedepan. "Bahkan Marisa nggak bisa cerita hal ini sama Kevin, padahal Kevin sendiri pacar Marisa."

Marisa memukul kuat dada kirinya. Begitu sakit dan sangat menyesakkan. Pasokan oksigen untuk bernafas menipis. Marisa pusing, tetapi Ia berusaha bertahan.

Two way loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang