Saat mataku terbuka, aku tau jika aku sedang berada di rumah sakit. Aku ingat saat Dion bicara padaku. Aku menoleh dan melihat wajah Dion yang sedang tertidur di sofa pojok dan Vio yang duduk di sebelahku.
"Sadar juga lo." Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.
"Akhirnya gue tau kan kalau lo itu suka forsir tubuh dan pikiran lo secara berlebihan sampe lo restless dan sekarang tifus. Are you happy with this?"Aku menatapnya cemberut, "Lo tuh orang lagi sakit malah dimarahin. Gimana sih, dasar jahat!" Sahutku pelan dengan suara serak.
Ia mengulurkan gelas berisi air putih padaku. "Untung semalem dokter gak nanya macem-macem waktu nyium bau alkohol dari mulut lo."
"Berisik!"
Ia menyiapkan meja yang berisi beberapa makanan. "Lo harus sarapan. Gue dipesenin dokter supaya lo gak telat makan karena nanti mau ambil darah sore."
Aku mengernyit, "Ambil darah sore kok makannya pagi." Keluhku.
"Heh, jadwal makan itu pagi, siang, dan sore—menjelang malam. Lo aja tuh kalau makan siang menjelang sore dan tengah malam, itu pun kalau inget."
"Duh mamiku ini tau banget gue deh."
"Cuih! Gak sudi gue punya anak kayak lo gini, Te. Kebanyakan minusnya bikin hipertensi."
"Heh, hati-hati kalau bicara. Nanti anak lo kayak gue aja, baru rasa lo."
"Amit-amit Tuhan."
Aku mulai memakan makananku. Ini yang aku tak suka dari rumah sakit, makanan masa gak ada rasanya gini sih. Rumah sakit mau gak sih para pasiennya bernafsu makan? Gue sih gabisa makan kayak gini.
"Bawa bumbu gak Vi?"
Vio melengos dan mengulurkan bumbu menyedap rasa padaku, yang kusambut dengan suka cita. Vio memang pengertian. Pengalaman memang anak ini. Saat aku sakit demam berdarah dulu saat masih SMP, aku juga memintanya membawa bumbu penyedap rasa. Awalnya ia enggan, namun melihat aku yang tak menghabiskan makanan lebih dari 4 sendok, ia pun menuruti.
"Dion begadang semaleman, khawatir sama lo." Aku menoleh dan melihat wajah lelah Dion. "Dia juga minta gue buat hubungin keluarga lo mengingat dia yang harus ngurus ini-itu buat kepergian dia nanti."
"Dan..?"
"Gue bilang kalau gue juga gatau banyak tentang keluarga lo.
Akhirnya, dia minta gue buat hubungi Londo."Aku memejamkan mata mendengarnya. "And you called him?"
Vio mengangguk, "Dion yang bicara. Dan siang ini Londo yang bakal nemenin lo karena Dion dan gue pergi siang ini." Aku menggigit sendok makanku. "Te, Dion semalem cerita tentang rencananya tahun ini."
"Rencana?"
Vio melirik Dion sekilas sebelum mendekat dan berbisik, "He's planning to propose you when he comes back."
Aku mengulum senyum, "Dia juga bilang ke gue kalau dia akan balik buat melamar gue properly."
Vio ikut tersenyum, "Lo udah nemu orang yang emang cocok kan buat pendamping hidup lo."
"Ya."
"When will you tell him everything?"
"Ketika dia siap melamar gue." Ketika kulihat wajah Vio yang tampak ingin menyela, aku menahannya, "Ya, resiko gue yang tanggung. Ain't everybody has a though heart as mine."
Vio memelukku, "I'll be always on your side, Te."
I know, dia akan selalu ada buatku. Sekalipun raganya tak ada di sisiku untuk memelukku, suaranya ada untuk menenangkan dan mendengarkanku. That's what friends are for, huh?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleepmate ✔️
Short StoryPergaulan anak Jakarta memang menggila, apalagi yang memiliki masalah seperti diriku. Apa masalahku? Sederhana, hanya terlalu sering diabaikan oleh orangtua.