Dion kembali setelah satu bulan lamanya ia bekerja di negeri orang. Aku merindukannya!
Aku menyambutnya yang sedang melangkah ke arahku. Ia baru saja keluar dari pintu kedatangan bandara. Aku pun berlari mendekat dan memeluknya. Oh Tuhan, laki-lakiku kembali!
Kami bertukar tatap sambil tersenyum dan kemudian ia mengecupku pelan.
"Hai, apa kabar?"
"Baik. Kamu?"
"Kangen."
Aku terkekeh. "Sama!"
Kami pun mulai berjalan dengan sebelah tangan Dion melingkari pinggangku dan sebelah lagi mendorong koper mungilnya. Oh ya, ia hanya akan berada di kota ini selama dua hari sebelum harus kembali lagi menjauh dariku.
Begitu kami masuk mobil, ia kembali mengecup bibirku.
"Di sana orang dapat bebas mencium pasangannya selama apa pun mereka mau tanpa takut orang lain akan menatap penuh judgement. Andai aku bisa cium kamu dengan penuh semangat begitu kamu ada di depanku tadi."
Ya, negara ini masih kaku. "Kamu bisa melakukannya sekarang."
Ia tersenyum. "Pulang dulu yuk, aku mau peluk kamu seharian."
Aku mengangguk dan membiarkannya menyetir.
"Masih inget jalan?" Tanyaku.
"Ya masa lupa."
Oke. Aku mengirim pesan ke Londo untuk tidak pulang ke apart dua hari ini karena aku ingin bersama dengan Dion saja dua hari ini.
Begitu kami tiba, Dion langsung memesan makanan dari restoran favoritnya untuk diantar dan ia segera mandi. Aku menungunya di sofa usai berganti pakaian.
Usai mandi dan makanan tiba, kami makan dan kemudian berpelukan.
Ia menciumku lama sekali. Aku dapat merasakan betapa kerinduan yang dalam tersampaikan lewat ciuman ini. Aku pun meluapkan hal yang sama dengannya.
Kami melanjutkan kegiatan kami dengan menonton film bersama dan bertukar cerita selama sebulan belakangan. Cerita yang sudah kami ceritakan sebenarnya di telfon maupun video call selama ini, hanya saja bercerita dengan saling bertatapan seperti ini terasa beda. Aku merindukannya. Sangat.
Aku suka mendengarnya bercerita tentang kegiatan dan kehidupannya selama di sana. Menarik dan dirinya yang sangat ekspresif membantuku lebih mudah untuk membayangkan menjadi dirinya dalam cerita tersebut.
Hari sudah larut dan ia pun pamit pulang ke rumahnya. Ia juga masih harus bertemu keluarganya. Hampir saja aku melupakan perbedaan kami ini. Hampir saja aku lupa bahwa ia masih memiliki keluarga yang masih menyayangi dan peduli dengannya. Hampir saja aku lupa diri dan menganggap bahwa dirinya adalah sepenuhnya milikku.
Ah Terry, kau melunjak.
***
Londo sudah jarang sekali pulang. Ia sedang berjuang penuh untuk berjuang mendapatkan hati perempuan alim itu. Aku pun semakin disibukkan dengan pekerjaanku.
Namun belakangan aku merasa kurang sehat. Aku mual sejak kemarin dan nafsu makanku berkurang. Tentu ke dokter bukan pilihan yang aku suka. Jadi, aku hanya menghiraukan rasa tersebut, malah mengalihkannya dengan kesibukkanku.
Aku hanya mampu meminum teh mint dan makan biskuit, sisanya tak mampu ku terima. Bahkan mencium aroma tajam sedikit saja rasa mual ini melonjak, tapi tak kuturuti untuk keluar. Selalu kutahan agar sakit ini tak melunjak dan semakin parah.
Sudah beberapa minggu belakangan ini aku sangat horny, astaga. Aku membutuhkan Londo namun aku ingat bahwa ia sedang mencoba berubah menjadi laki-laki alim. Karena hasratku tak dapat tersalurkan, maka aku hanya dapat meluapkannya dengan emosi. Para pekerjaku bingung dengan diriku yang sangat sensitif dan mudah sekali marah. Aku tak peduli.
Malam ini, ketika aku sedang menonton film porno sendirian dan bermain dengan vibrator, Londo pulang. Aku kaget bukan main, dia apalagi.
Aku kaget karena Londo pulang setelah sekian lama. Oke lebay, dia baru tidak pulang selama dua bulan dan aku bukan merindukan sosoknya, aku merindukan kehangatannya. Aku kaget, ada apa ia kembali? Ada masalahkah? Atau ada apa?
Londo sendiri kaget karena menemukanku di kamar, sendirian, menonton film porno dengan volume keras, telanjang, sebelah tangan meremas dada sendiri dan sebelahnya lagi menggegam remote vibrator yang ada di dalam alat vitalku, dengan posisi mengangkang dan mendesah.
"Astaga Terry, what the fuck are you fucking doing?!" Ia memekik dan mendekatiku.
Aku malu. Malu sekali. Sumpah! Aku segera meraih selimut dan menunduk. Aku tak pernah melakukan ini sejak dulu, baru sekarang saja sejak Londo tak lagi bisa menghangatkanku. Londo pun pasti kaget karena ini pertama kali melihatku. Ya mau bagaimana, aku butuh memenuhi hasratku.
Londo membuka selimutku kasar dan menatapku dengan mata merah penuh amarah.
"Lo ngapain gila?!" Aku tak menjawab. Aku malu. "Lo mau gituan sendiri? Jijik tau!" Iya, ini mungkin menjijikan bagi kami dulu, tapi aku membutuhkannya. "Lo kenapa sih?!"
Amarah dan emosinya membuatku ikut kesal. "Kenapa emangnya?! Lo yang kenapa tiba-tiba datang dan marah-marah?! Iya gue menjijikan, terus kenapa?! Gue kepengen, gue butuh dan lo gaada buat bantu gue!"
Seketika matanya membulat, eksperi marahnya perlahan hilang. Mungkin ia sadar, aku bukan dirinya yang akan berhubungan sex dengan pacarku. Kalau pun bisa, Dion berada jauh sekali.
Ia menempelkan keningnya di keningku. "I'm sorry, Te. Lo kan tau kalau gua lagi berubah untuk menjadi laki-laki baik. Kalau gua masih sex sama lo, kapan gua bisa bener-bener berubah kan."
"Then don't scream to me."
"I know, I'm sorry. Lemme help you."
Ia mengecup bibirku namun aku menggeleng. "Gue supportif lo yang mau berubah, Lo."
Aku hendak menarik diri sebelum ia meraihku ke dalam pelukannya. "Bokapnya gak setuju, Te. Dia pun gabisa membuat orangtuanya yakin untuk nerima track records buruk gua. Gua nyerah."
Aku kaget mendengarnya. Ternyata, inilah alasannya pulang.
Aku menggeleng dan menangkup wajahnya, "Jangan nyerah, Lo. Lo sendiri yang bilang kalau perempuan itu mau nerima lo, yang perlu lo perjuangkan sekarang adalah restu orangtuanya. Jangan nyerah."
Dia menggeleng, "Susah banget, Te,"
"Lo baru nyoba bentar, tetep usaha, oke?"
Dia menatapku, kami saling bertatap dan dia mengecup bibirku. Ciumannya dalam. "Lemme relax for a while and lemme help you too."
Aku berniat untuk menolaknya, namun ia sudah memainkan jari-jarinya di atas kulit tubuhku. Vibrator yang masih berada di dalam tubuhku memperburuk keadaan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleepmate ✔️
Short StoryPergaulan anak Jakarta memang menggila, apalagi yang memiliki masalah seperti diriku. Apa masalahku? Sederhana, hanya terlalu sering diabaikan oleh orangtua.