Aku sudah bisa pulang setelah diopname selama 10 hari dan tetap melanggar peraturan rumah sakit yaitu menambahkan bumbu MSG di makananku. Dion pun tak mampu mencegahku.
Aku pulang bersama Dion yang hari ini akan menghabiskan waktu denganku sampai siang ini saja karena ia harus berangkat sore hari nanti. Aku sangat sedih jelas, kenapa saat aku keluar dari rumah sakit ia malah harus pergi.
"Jangan sedih gitu dong, aku kan akan tetep pulang sebulan sekali buat kamu."
"Sebulan sekali apa rasanya."
Dion memelukku, "Aku pergi kerja buat kita, Te, buat kamu. Aku mau kita bisa hidup bersama dengan keadaan yang baik agar kamu gak kekurangan nantinya."
Aku menyerap pelukannya. Pelukan yang baru akan aku dapatkan satu bulan lagi. Aku tak bisa setiap hari melihatnya langsung. Tak bisa sesering dulu menemaninya. Aku pasti akan sangat merindukannya.
Hari yang disinari matahari ini kuhabiskan bersama Dion untuk movie marathon di apartmentku. Tepat pukul 3 sore, Dion pamit karena ia sudah ditunggu untuk berangkat. Aku tak diperbolehkan untuk mengantar mengingat aku baru saja keluar dari rumah sakit.
Dion melepas pelukan kami dan menatapku lurus. Perlahan tubuhnya maju dan menipiskan jarak tubuh kami hingga bibirnya benar-benar mengecup milikku.
Setelah Dion pulang, aku meringkuk di sofa ditemani kesunyian. Londo belum kembali, ia sedang pergi, katanya ada urusan. Aku tak terlalu ambil pusing.
"Hai, Te."
Aku menoleh mendengar panggilan dari Londo yang baru tiba tanpa suara. Di tangannya, ia membawa sebuah bungkusan yang membuatku mengenyit dan memandangnya dengan pandangan penuh tanya. Ia ikut duduk disampingku dan membuka bungkusan tersebut. Mataku membulat senang disertai senyumku yang enggan pudar. Ia membawakanku makanan yang paling aku suka sepanjang masa: sate padang!
"Daripada lo manyun mulu, makan nih!"
Aku segera meraih bungkusan pertama dan melahapnya cepat tanpa sisa. Aku mengatakan bungkusan pertama karena aku kini meraih bungkusan kedua dan disusul beberapa bungkus lainnya. Londo memang paling tahu bagaimana cara agar aku bisa melupakan kesedihanku, buktinya ia membawa 10 bungkus sate padang panas dan menemaniku makan. Ia tak melarang seberapa banyak pun aku menelan itu semua.
Setelah menghabiskan bungkus ke 5, tersisa satu bungkus. Aku melirik tajam Londo yang baru selesai bungkus keempatnya. Aku tak mau berbaik hati memberikan bungkusan terakhir ini untuk Londo, dan begitu melihat Londo yang juga mengincar bungkus ini, aku pun segera berlari.
"NO!!! This one is mine!"
"Bagi dua elah!" Katanya kesal.
Aku menggeleng sambil berlari, "No! Lo udah makan empat."
Londo semakin gencar mengejarku, "Lo lima gila!"
Aku dan Londo berlarian keliling apartment hingga akhirnya Londo menangkapku. Aku memberontak sambil membuka bungkusan dan melahap dua tusuk sekaligus, enggan berbagi. Londo pun tak mau kalah, ia memeluk—menarik—ku dari belakang dan ikut mencomot tiga tusuk sekaligus. Ku sikut perutnya dan kembali makan tiga tusuk. Hingga satu tusuk terakhir, tangan kami berkelahi di atas satu tusuk sate itu. Aku berhasil memenangkannya dan menguyah habis sate terakhir itu. Londo menatapku tajam, kesal dan akhirnya ia menarikku lalu mencium—mencuri gigitan sateku dan menelannya. Aku menatapnya kesal.
"Curang!"
"Rakus!"
Akhirnya, kami lelah dan membanting diri di sofa. Apartment tampak berantakan. Masih tersisa bungkus sate yang hanya berisi bumbu. Aku yang memang menyukainya pun menghabiskan bumbu itu hingga Londo menarikku ke pangkuannya dan menciumku. Ia melahap bibirku dan dalam mulutku, menghabiskan sisa rasa bumbu yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleepmate ✔️
Short StoryPergaulan anak Jakarta memang menggila, apalagi yang memiliki masalah seperti diriku. Apa masalahku? Sederhana, hanya terlalu sering diabaikan oleh orangtua.