1

860 58 38
                                    

Gantinya Alika vs Mas Ang
Harusnya ini sedih, tapi entah pada perjalanan menuju 40 episode nanti ya...
Gigantara Dewa, namanya. harusnya dia jadi anak ku yang paling sedih kisahnya. Tapi kadang gara2 komen jiwa emak2 kalian yang meronta aku malah jd terprovokasi buat ngerubah nasib. 🤭😂 Tapi ya, aku penganut happy ending. Meskipun pada kasusnya Giga rada nggak mungkin 🙈🙈

Baiklah, dengan segenap cinta aku memperkenalkan Gigantara Dewa dan Luna Larasati.

"Terakhir kali ketemu, dia mau ke KL, setahun lalu dia beruntung menikahi putri bos Nano Record tempatnya mengembangkan kemampuan." aku sudah bertemu dia bang Minggu kemaren. Tapi tak mungkin aku bilang padamu. Karena aku juga melarang Bang Andra bercerita pada lainnya.

"Dia selalu beruntung." Giga mengenang basist dari band yang pernah membesarkan namanya, dengan pria yang mulai tambun di depannya ini sebagai gitaris.

"Lama ya Bang, kita nggak ngumpul lengkap." Giga memainkan stik drum mainan milik si kecil Megantara, bahkan namanya pun mirip dengannya. Putra Bang Johan, Gie panggilannya, Bang Johan bilang, Luna menyukai nama itu. Sampai satu unsur G dalam namanya menjadi alasanmemanggilnya Gie. Andai Bang Johan tau, Gie itu panggilan Luv-nya khusus kepadanya dulu.

Giga memandangi stik drum mainan dengan perasaan tak menentu. Drum adalah keahliannya, hobi yang melambungkan namanya sekaligus membawanya bertemu Lunaya, cinta pertamanya.

"Kita selalu ngumpul meski cuman setahun sekali, cuma elo yang lupa pulang mengunjungi kita." Bang Johan meninju lenganku. "Elo banyak berubah, seperti menghindari kami"

"Kata siapa?" Giga menyanggah sesuatu yang dibenarkan hati kecilnya. Akankah sekarang dirinya terus bersembunyi.

"Kami merasakan, adek kecil." Bang Johan member tertua sekaligus leader 7'sband. Orang yang juga berjasa menyumbang nama tersebut bagi band kami.

"Elo tau sendiri pekerjaanku Bang."

"Yeah dokter dan pengabdiannya, tapi tidak bisa banget elo kasih kabar Ga" aku terdiam, andai elo tahu bang aku melakukan ini demi agar bisa terus bernafas.

"Lihat putra-putri gue Ga, sudah sebesar itu dan elo baru jenguk sekarang."

"Mereka cantik dan tampan." si kembar itu, aku menghela nafas halus, andai mereka berdua beserta ibunya adalah milikku. Luv tidakkah kamu mengingatku sedikit saja meski dalam mimpi?

"Tentu saja, mereka dilahirkan dari ibu yang cantik." Bang Johan tersenyum lebar menyaksikan anak istrinya bermain gelembung sabun, sesekali si pria kecil menjaili si gadis yang akan merengek pada wanita cantik disisinya.

"Dia selalu cantik." tanpa sadar Giga bergumam, meski telinga Johan mendengarnya dia tak akan menyangka apa yang kini di rasa Giga.

"Kau tak menyapanya?"

Giga tersenyum tipis menanggapi, entah kenapa panggilan elo dari bang Johan berubah jadi kau. Tatapan Giga dilarikan jauh ke arah danau yang airnya beriak kecil karena hembus angin. Tak ingin semakin terpesona oleh sihir cinta Luna-nya yang masih perkasa, Lunaya, Luv-nya. Panggilan itu memang norak tapi menurut Giga sepadan dengan betapa wanita itu dulunya adalah gadis yang ia titipi segenap hati dan rindu.

"Dia mungkin sudah lupa kalau gue yang selalu jadi korban kebringasannya dulu." Giga tertawa kecil hingga kepalanya menggeleng. Kalau Johan teliti, ia akan menemukan setetes air mata kerinduan di pelupuk mata Giga.

"Dia lebih muda setahun denganmu."

"Dua tahun."

"Dia melupakan semua orang." Johan menatap Giga lamat-lamat. Kembali Giga melarikan matanya jauh dari sang bidadari hati. Tak ingin hatinya terendus oleh Bang Johan atau siapapun. Biar saja ia sendiri yang rasa. Biar saja ia akan menghidupkan Luna-nya di hati selamanya. Sampai hatinya lelah merindu, sampai hatinya memahami logika takdir bahwa Luna-nya kini bukan Luna-nya lagi.

Johan mendesah, meski takdir membuat istrinya amnesia dia bersyukur, istrinya baik-baik saja sekarang. Dia tak akan menyangka, pria termuda dalam band-nya itu adalah Gie yang kadang disebut Luna dalam mimpi .
"Katakan siapa pemilik hatimu sekarang, Ga?" Kembali Johan tertarik dari lamunan singkat. Suara Johan kembali santai seperti biasa. Hanya dia sejak dulu, sekarang dan selamanya, Bang. Giga hanya mengucap jawaban sentimentil itu dalam benak.

"Tidak ada." selain dia. Tatapan Giga perpindah dari derak awan menuju wanita berambut panjang dengan kedua bocah kembar yang terus bermain air. Meski secepatnya dia harus membuang mata kurang ajarnya jauh dari sang bidadari karena tak ingin suaminya curiga dan salah paham.

Dunia memang kejam, membuat cinta pertamanya melupakan dan bahagia dengan yang lain. Sementara dia tak bisa sedetikpun tak memikirkan, terus berkubang pada kenangan lama yang semakin hari menghimpit dada. Giga patah hati mendengar Bang Johan menikahinya, selepas kematian manajer mereka ayah Lunaya. Sementara dirinya justru tak berdaya diatas ranjang rawat karena kejadian sialan yang membuatnya harus transplantasi mata sekaligus merenggut ingatan kekasihnya.

Logikanya kalau tidak mau patah jangan menjalani cinta sendiri. Hanya saja siapa yang bisa mengatur hati akan bertahan pada siapa.

Nyatanya mengubah bilangan nasib tak sama seperti mengubah pesanan makan siang selayaknya membalik telapak tangan.

"Minum Bang, silahkan Mas Giga...." Senyum itu masih sama, masih mampu menggetarkan hati Giga. Suara itu semerdu biasanya saat mereka menyenandungkan cinta dulu. Sama persis seperti belasan tahun lalu di gerbang sekolah.

"Kamu panggil dia mas?"

"Eh..." Luna terbelalak cantik mengetahui ia salah menyapa. Bisa gila kalau Giga bertahan disini sebentar lagi, pikirnya.

"Aku dulu memanggilmu apa donk?" Kamu dulu memanggilku Gie, kadang itu menjadi Gigi, Gigiku, kamu bahkan marah kalau ada anak lain yang berani memanggilku begitu. Meski Giga hanya tersenyum menjawab pertanyaan sang dewi cintanya. Ia seakan papa tak berdaya, tak mampu berbicara dengan cara sama lagi kepada Luna seperti beberapa tahun lalu.

"Terserah kamu, Lun." Luv, aku selalu memanggilmu Luv, alih-alih Lunaya Larasati nama indah mu.

"Karena kalian seumuran, kalian dulu dekat sekali sayang." Bang Johan memeluk pinggangnya. Lunaya terlihat nyaman berada di sisinya. Meski umur mereka terpaut jauh. Tapi Giga yakin Bang Johan sangat menyayangi Luna-nya.

"Benarkah?" Mata itu selalu hidup, binar-binarnya tak pernah redup. Pernah sekali dia melihat mata indah itu kehilangan sinar. Saat kejadian yang memisahkan mereka berdua bertahun-lalu. Hingga Luna-nya memilih menguburnya dalam kenangan perih yang Giga tanggung sendiri. Luna-nya memilih melupakan dirinya beserta puing-puing cinta yang sampai kini terus menyiksa. Giga harusnya membenci wanita itu, yang tega meninggalkannya dalam kubangan rindu yang teramat menyiksa, sendirian. Satunya-satunya wanita yang membuatnya kebal terhadap ratusan wanita mempesona di luar sana.

Giga sudah memantapkan hati membenci Luna hingga percaya diri mendatangi rumah berteras danau ini. Nyatanya yang Giga rasa hanya rindu dan rindu. Giga kalah pada hati, Giga menyerah pada Lunaya Larasati. Pada kenyataanya cinta Giga untuk Lunaya, Luv-nya, masih seluas dan sedalam dulu.

😪  Aku ngetik ini sambil berkaca-kaca.

GIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang