Selamat pagi, selamat hari Minggu
😍😍😍
#dirumahSaja
#stayhealty
#coronaJauh-jauh
#SediaTissueLunaya berjalan lamban mendekati sosok yang mulai terengah dibalik set drum. Sementara gerakan Giga semakin cepat dan mulai tak terkontrol. Langkah Luna ragu-ragu apakah yang dilakukan ini benar. Apakah seperti yang dikatakan Mona bahwa cinta pria itu untuknya masih sama seperti yang dulu. Luna sebenarnya tidak akan berharap, jadi dia berhenti melangkah. Lagi pula Luna tak berani lebih dekat pada pria yang seharusnya menguras seluruh cintanya. Ia tak akan kuat kalau hanya bisa memandangi tanpa menghambur kepelukannya seperti dulu.
Tapi bagaimana kalau dihadapkan pada tatapan kesakitan yang mulai menyadari keberadaan dirinya. Giga berhenti sesaat hanya untuk melanjutkan menabuh benda di depannya lebih dari sebelumnya. Giga mengira dirinya mengalami halusinasi, fatamorgana yang menyakitkan. Takut kalau di berhenti memukuli drum ini, bayangan cantik Luna, Luv-nya akan turut meninggalkannya. Pandangan Giga mengunci Luna yang semakin memerah karena tangis. Luna ingin bilang, berhenti Gie, ini aku, Luna-mu, Luv-mu. Tapi mata yang memancarkan sakit hati itu tak memahami maksudnya. Jadi Luna terduduk tak berdaya, menangis mengeluarkan segala duka dalam dada. Ia terisak hebat, hingga matanya memejam dengan ketat.
Melihat pergerakan Luna yang alami, Giga tak bisa tak kaget. Pria itu terdiam memegang kedua stik yang tak lagi berdaya. Apakah Luv-nya telah kembali. Apakah cintanya kini mengingat dirinya.
"Lunaya Larasati...." Bibirnya bergetar menyebut nama panjang sang kekasih hati.
"Ya, aku disini Gie... Aku disini, aku disini....." Luna menelan apapun yang mengganjal di tenggorokan. Ia melihat Gie menyosongnya penuh kerinduan.
"Pasti ini halusinasi ku, seperti yang sudah-sudah kan" Giga tersenyum hampa, wajah putih bersihnya nampak pucat tiada upaya. Bahunya meluruh seketika, pria itu terlihat begitu rapuh dan hancur.
"No, No, no, its me." Luna mengatakan dengan cepat, ia takut Pria itu akan lebih hancur lagi jika menganggapnya hanya ilusi semata.
"Aku nya....ta......" Tak bisa Luna tak merintih, jadi Gie-nya sebegitu merabanya tanpa dirinya selama ini?
Padahal bisa saja waktu menggerus cinta mereka. Tapi pria itu masih menyebut namanya sama merdu seperti belasan tahun lalu, dia masih menyebut namanya penuh kasih seperti dulu.
"Kamu nyata?" lihat nyala yang tertiup angin di mata pria itu, menggambarkan harapan yang seolah akan padam dalam sekali hembus.
"Kamu Lunaku, Luv-ku?" Pertanyaannya terdengar mengiris luka Luna yang semakin menganga.
Luna hanya mampu mengangguk pilu. Ia ingin mengadu seperti dulu, ingin bercerita banyak hal padanya.Ia ingin bilang, bahwa kini ia tak takut minyak panas lagi. Ia juga sudah tak takut petir sekarang. Ia ingin bilang ia sudah sangat merindukannya dan ingin mengganti waktu yang terlewat bersamanya.
Tapi dia ingat sekarang ia adalah ibu dari dua anak, meski pernah mengalami keguguran 2x. Tapi ia tak sanggup melihat nestapa yang merundung wajah yang selalu menemani mimpinya ini semakin terluka.
Gigi melepas stiknya hingga berjatuhan, ia berjalan mendekati posisi Luna yang terduduk tanpa daya. Siapapun tahu, baik Mona, Lukas maupun Johan bahwa Luna dan Giga sama-sama ingin saling memeluk, menyalurkan seluruh rindu yang selama ini terbendung waktu. Kedua tangan mereka saling mengansur. Namun, saat hanya tinggal 3 langkah, Giga mundur. Dia yang sudah merentangkan kedua tangan demi membawa nyawanya lebih dekat dengan hatinya, Luna masihlah nyawa untuk nafasnya, mengurungkan niat. Dia tersadar, dirinya perlu melindungi Luna-nya dari apapun, termasuk dari rasa cemburu Johan yang mungkin saja akan salah paham andai tahu pertemuan ini. Jadi Giga tak akan pernah memposisikan Luna dalam kesulitan sedikitpun, Giga tak akan menodai eksistensi suci cinta. Cintanya tidak egois, cintanya bisa menjadi lilin, menerangi meski nyalanya membakar menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIGANTARA
Romance"Katakan siapa pemilik hatimu sekarang, Ga" Kembali Johan tertarik dari lamunan singkat. Suara Johan kembali santai seperti biasa. Hanya dia sejak dulu, sekarang dan selamanya, Bang. Giga hanya mengucap jawaban sentimentil itu dalam benak. "Tidak a...