7

491 41 27
                                    

Giga dan Johan duduk menghadap taman belakang rumah Lukas dan Mona. Lukas tetap memantaunya dari jauh, takut kalau-kalau keduanya lepas kendali. Meskipun dia tahu waktu telah mendewasakan keduanya. Lagipula Johan sudah 41 tahun ini, tak akan lagi bertindak mengikuti emosi. Sementara Giga, bocah yang kadang pintar kadang bisa juga gila itu sekarang telah membuktikan bahwa dirinya layak disebut pria sejati. Seperti memilih melihat Luna dari jauh tanpa sedikitpun mengusik wanita yang dicintai tersebut.

Hingga setengah jam berlalu dalam keheningan, Johan akhirnya membuka suara.

"Bagaimana keadaan lo, Ga? Kenapa menutupinya dari kami?" Meskipun Johan sudah tahu jawabannya dari Lukas, tapi dia tetap ingin menanyakannya.

"Gue punya banyak kesulitan waktu itu"

"Orangtua elo?"

"Mereka tetap tidak pernah tenang melihat gue dalam dunia kita"

"Mereka ingin yang terbaik buat elo"

"Sama seperti Om Hardi yang ingin putrinya mendapat yang terbaik"

"Soal itu.... Gue hanya ingin melindungi Luna"

"Dari apa bang?"

"Dia sebatang kara"

"Kalian bahagia"

"Sangat" meskipun terkadang ada yang kosong dalam hubungan kami, Ga, tapi elo nggak perlu tahu.

"Baik, itu cukup buat gue"

"Apa maksudmu"

"Apa lagi yang ku butuhkan selain bahagianya bang" nada suara Giga radar dan tenang, seolah terbiasa dengan kesedihan.

"Kamu memang tidak pernah mencintainya" Johan tau tidak ada yang bisa melebihi cinta Giga pada istrinya, baru saja dia mendengarnya, dan itu membuatnya tertohok. Padahal dia hanya sedang mencari celah akan  kepercayaan dirinya soal cinta, tapi nyatanya ketulusan Giga pada Lunaya tak terbatas.

Giga tertawa, lagi-lagi tawa pedih yang menyayat. Lukas menggeleng tak percaya mendengar anggota termuda sekaligus sepupu istrinya itu masih bisa menertawakan diri di situasi seperti ini.

"Aku tak perlu pengakuan siapapun, bang" Giga memang sangat bisa diacungi jempol soal ketenangan. Berbeda dengan Johan yang mulai tersulut emosi merasa diremehkan.

"Aku menyesal mengundangmu datang waktu itu"

Giga mendengus, tak menyangka Johan bisa mengeluarkan kalimat itu.
"Kau pikir mudah jadi aku, Ga" nada suara Johan yang tertangkap indera pendengaran Giga seperti tengah disudutkan. Padahal sedari tadi Giga hanya menimpali sesekali dengan nada terkontrol.

"Elo pikir mudah jadi aku, bang?" Giga menyandarkan punggung ke sandaran kursi.

"Lupakan istriku" nada suara Johan tak lagi bersahabat. Ia tahu ini egois, tapi Johan punya anak-anak yang perlu dijaga juga perasaannya.

"Aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa, kalau elo mau tahu bang." Giga hanya melirik biasa, tapi Johan tau tatapan itu benar-benar serius.

"Jangan keras kepala, Ga. Posisi mu tidak dipihak yang dibenarkan?"

"Sejak kapan mencintai jadi pihak yang patut disalahkan, bang? Ini hatiku bang, bebas mau menjatuhkan rindu pada siapa"

"Dia istriku sekarang, kalau kamu lupa"

"Dia kekasihku sejak awal, kalau tidak amnesia"

"Kami telah memiliki dua anak, Ga. Mereka akan selalu butuh ibunya"

"Kalau aku berniat, sudah 10 tahun lalu ku ambil dia"

Johan terdiam, sesuatu terasa meremas jantungnya, luar biasa nyeri, sangat. Ia tahu berdebat dengan Giga tidak baik untuk jantungnya yang semakin lama semakin aus. Ah, drama sekali, di tengah situasi seperti ini dia divonis jantung oleh dokter. Irama jantungnya mengalami gangguan hingga terkadang sangat menyiksa diri.  Johan berjanji pada dirinya, pada cintanya untuk Luna, dia akan menyetujui ide implan ICD atau pacemaker agar bisa menua bersama ibu anak-anaknya.

GIGANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang