0

2.4K 165 27
                                    

Apa yang kalian rasakan, jika kalian mencintai seseorang, tapi orang itu tidak pernah menganggap kita?

Membayangkan saja rasanya dada terasa sesak dan sakit bukan?!

Begitulah yang sedang aku alami, aku mencintai dia, yang tidak pernah menganggapku ada.
Baahkan dia tidak tahu siapa nama panjangku, berapa usiaku, apa aku masih kuliah atau sudah bekerja? Dia sama sekali tidak pernah peduli.

Hanya aku yang selalu mempedulikannya, hanya aku yang selalu menyebut namanya, hanya aku yang selalu menyiapkan kue ulang tahun untuknya.




Seperti malam ini,

Malam semakin larut dan sepi, akan tetapi tidak membuat seorang gadis yang tengah duduk di sofa itu beranjak pergi, dia masih tetap berada di tempatnya.
Di hadapannya terdapat sebuah kotak mika berisi kue yang sudah di pasangi lilin.

Berkali-kali matanya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Sudah hampir tengah malam, apa dia pergi ke club lagi?" Desisnya dengan gelisah.

Dentangan suara jam terdengar sangat nyaring, pertanda waktu sudah menunjukan pukul 12 malam.
Tapi orang yang di tunggunya tak kunjung datang.
Perlahan matanya mulai terpejam dan akhirnya terlelap dengan posisi duduk.

Suara deru mobil yang memasuki pekarangan rumah membangunkan si gadis darii tidurnya.

"Huh? Pukul 4 pagi dan dia baru pulang?" Si gadis berjalan dengan kaki terseok menuju ke arah pintu depan.
Belum sampai tangannya meraih handle, pintu sudah terbuka lebar menampakan sesosok tubuh yang menjulang dengan aroma alcohol yang menyengat. Di sebelahnya terlihat seorang wanita cantik berpakaian seksi gelendotan seperti koala. "Mas baru pulang?" Tanya si gadis, tangannya hendak meraih tangan si pria akan tetapi dengan cepat di tepis.

"Bukan urusanmu. Sedang apa kau di rumahku?" Suara ketus dan bentakan seperti itu, sudah menjadi hal biasa bagi si gadis.

"Aku membawakan kue ulang tahun untuk Mas!"

"Kue ya?"

Si pria berjalan ke arah meja, dan meraih kotak mika berisi kue, dan tanpa ba bi bu lagi, dia menjatuh kue tersebut ke lantai.

"Kue itu bukan? Benarkan Oi, ini kue yang kau bawa?" Ujar si pria dengan suara nyaring.

Gadis yang di panggil Oi hanya diam membisu, menatap kue ulang tahun yang sedari sore di jaganya, sudah berserak di atas lantai dengan nahas.

"Mas, apa Mas tidak bisa, sekali saja menerima apa yang aku kasih? Apa Mas segitu jijiknya sama aku, segitunya bencinya sama aku?" Teriak Oi, dengan suara bergetar menahan tangisan.

Tangan si pria terangkat, dan menekan telunjuknya di kening Oi.

"Kau itu sebagai perempuan, apa tidak punya harga diri sama sekali, pagi siang malam selalu mengikuti dan merecoki aku. Aku muak melihatmu, sangat muak, persetan dengan semua yang kamu kasih itu, sekarang pergi dari sini dan jangan pernah sekalipun menampakan batang hidungmu lagi di hadapanku!"  Teriak si pria dengan penuh amarah dan tatapan penuh kebencian.

Oi mundur selangkah, dengan terisak-isak dia menatap pria di hadapannya.

"Mas Adam, apa Mas setega itu sama aku? Mas ngusir aku?" Oi masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya tadi, dari mulut pria bernama Adam tersebut.

"Ya, apa itu kurang jelas? kau hanya pengganggu saja di hidupku, kau itu seperti benalu yang tidak tahu malu. Apa kau tahu apa yang mereka katakan di luar sana hah? mereka menganggapku aneh, karena kau selalu menguntitku, kau itu menjijikan dan sangat menyedihkan. Enyahlah dari hadapanku!" Ucap Adam tanpa belas kasihan sedikitpun. Rasa tidak sukanya pada Oi seolah sudah mendarah daging.

"Lihatlah penampilan dirimu itu, kampungan dan sangat lusuh. Kau bilang suka padaku kan? Kalau benar-benar suka dan cinta, sebaiknya kamu pergi jauh-jauh dariku, jangan sesekali datang kesini lagi." Sambung Adam seolah tanpa beban, dan tanpa memikirkan perasaan Oi.

Setelah mengucapkan sumpah serapahnya, Adam berlalu begitu saja, meninggalkan Oi yang masih terisak pilu.
Tubuhnya luruh di lantai marmer yang dingin.

"Sakit, sakit sekali!" Rintihnya di sela suara isakan.
Tubuhnya seolah lemas dan tak bisa di ajak kompromi, dia sangat ingin berlari dan berteriak tapi tubuhnya seolah menolak untuk di gerakan, bahkan suaranyapun tak bisa dia keluarkan.

Oi hanya meremas dadanya kuat-kuat, air matanya bercucuran membasahi separuh wajah cantiknya.
Tangannya menggapai-gapai sebuah lilin yang berlumuran weaped cream dengam susah payah.
Setelah berhasil Oi menggenggam lilin tersebut dengan erat, perlahan tangannya berpegangan pada sudut meja, dia berusaha menopang badannya, dan berdiri.

Dengan langkah tertatih Oi keluar dari rumah Adam, wajah sembabnya tidak dia pedulikan.
Tangannya menggenggam erat lilin ulang tahun untuk Adam, dan membawanya.

Oi berbalik dan menatap rumah megah Adam, tangannya kembali meremas dadanya sendiri rasa sakit karena sering di abaikan mungkin tidak seberapa, tapi ketika hinaan demi hinaan dan cacian itu keluar langsung dari mulut Adam rasanya seperti ribuan jarum yang di tancapkan ke jantungnya sekaligus.

"Semoga Mas hidup bahagia. Selamat tinggal!" Gumam Oi sebelum benar-benar pergi meninggalkan rumah besar itu.

Berjalan seorang diri di pagi buta tidak membuat Oi merasa takut atau menghentikan langkahnya, dia terus berjalan menyusuri jalan raya yang masih sangat sepi.

Hampir satu jam berjalan, Oi tiba di depan sebuah rumah sederhana dengan halaman yang asri dan di tumbuhi banyak tanaman dan bunga.
Oi membuka pintu pagar yang terbuat dari kayu dan melangkah memasuki halaman rumah.

"Ayah, Ibu, aku pulang!" Ucapnya dengan suara parau.
Air matanya kembali mengalir deras.
Oi berjalan ke halaman belakang rumah, di bawah sebuah pohon rindang terlihat dua gundukan tanah makam yang sangat terawat.

Oi langsung menjatuhkan tubuhnya di samping makam dengan wajah masih basah dengan air mata.

"Ayah, Ibu, semoga kalian bahagia di sana, besok aku akan pergi, mungkin tidak mengunjungi kalian untuk waktu yang lama. Do'akan ya Yah, Bu, semoga aku berhasil dan membuat kalian bangga!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Oi menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala kesedihan dan kemalangan yang menimpanya secara bertubi-tubi.
Oi tertidur di samping makam kedua orang tuanya.

Sinar matahari yang mulai menyengat, membuat kedua mata Oi terbuka perlahan.
Pandangannya mengedar kesekeliling halaman belakang rumahnya, sepi! Hanya ada tanaman hias yang di lihatnya.
Oi berusaha berdiri, walaupun tubuhnya masih terasa lemas dan kepala yang berdenyut sakit.

Dengan langkah sempoyongan Oi berjalan menuju rumah, lagi-lagi hanya sepi yang di dapatinya.
Oi menyapukan pandangan matanya menatap setiap bingkai photo dirinya dan kedua orang tuanya yang berjejer rapi di dinding.
Setelah puas menatap gambar orang tuanya, Oi langsung menuju kamar, dia akan membereskan barang pribadinya dan juga pakaiannya, tekadnya sudah bulat, dia akan pergi sejauh mungkin dari rumahnya dan juga dari hidup Adam.

Oi merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur, mata sembabnya terpejam rapat.
Setelah cukup lama berbaring, Oi mendudukan dirinya di pinggir tempat tidur, tangannya mengelus perut yang berbunyi, minta di isi.


Ada yang mau baca tak ya ? 🤔

Semoga saja ada ☺

Di tunggu votmentnya yaa 💃💃💃

Moans In Pain(Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang