Sepertinya obrolan penting tengah dibahas oleh beberapa orang penting. Lengkap dengan jas, dasi, sepatu mengkilap, jam tangan mewah yang melingkar dipergelangan tangan, dan memakai kacamata plus menjadi pelengkap.
“Ah bisa aja. Saya juga orang biasa kok,” ujar lelaki paruh baya itu.
“Selamat bekerjasama dengan rumah sakit kita pak,” balas lelaki yang sama-sama paruh bayanya dengan berjabat tangan.
“Selain itu, nanti saya akan terapi. Saya ingin fasilitas VIP,”
“Baik pak, nanti saya akan persiapkan. Apakah bapak sedang sakit?”
“Tidak. Hanya faktor umur saja. Mungkin seminggu sekali saya akan ke sini,”
“Oh baiklah. Saya mengerti sekarang,”
Obrolan asik mereka selalu diiringi oleh tawa dengan suara serak dan berat. Tak lama setelah berkeliling melihat fasilitas yang diberikan oleh rumah sakit, mereka menuju kantin rumah sakit untuk sekedar menyeruput kopi.
Di ruang tunggu, Bee sudah mendengarkan apa yang mereka obrolkan. Bee hanya pura-pura menunggu sambil membaca buku. Setelah dirasa sudah cukup mendapat informasi Bee keluar dari rumah sakit, lalu menuju parkiran. Ia tancapkan gas dan pulang. Sesampainya di rumah, Marshon sudah lebih dulu sampai di rumah.
“Bagaimana tadi?” tanya Marshon sembari menyeruput secangkir kopi. Padahal Bee sendiri belum sempat duduk.
“Pak Baskara akan menginvestasikan uangnya di rumah sakit,” lapor Bee sambil melemparkan cardigan tepat di atas sofa. Barulah melemparkan tubuhnya sendiri.
“Banyak uang juga dia,” heran Marshon sambil mengelus-elus dagunya.
“Mungkin hasil korupsi,” jawab Bee seenak jidatnya, sambil menyeruput kopi milik Marshon.
“Dia jadi kepala sekolah di sekolahmu (diam sejenak) dan berinvestasi di rumah sakit hasil dari korupsi dana sekolah,” karena geram Marshon berjalan ke sana ke sini kayak setrika.
“Aku ngawur lho paman. Aku sendiri juga nggak pasti, itu hasil korupsi atau enggak,”
"Tapi masuk akal juga. Mending gini aja, coba kamu tanyakan ke temen-temenmu tentang keadaan di sekolahmu. Nanti coba paman cari tahu tentang riwayatnya,”
“Gampang,”
“Tapi, kamu harus tetep hati-hati. Semua info Baskara, kamu harus kasih tahu ke paman. Jangan dipendem sendiri,”
“Iya. Udah ah paman aku ngantuk, ke kamar dulu ya,”
“Ya udah kamu istirahat gih,”
Marshon mengangkat gagang cangkir itu dan mendapati kopinya telah ludes. Tinggal ampasnya yang tersisa.Bee naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas Kasur yang empuk. Ruang tidur Bee cukup luas, nyaman, indah, dan bersih. Cat abu dipadu dengan warna biru dan putih membuat tambah mewah. Maklum keluarga Bee adalah keluarga konglomerat. Rumah yang sekarang di tempati ini, sudah bagaikan istana. Bee hanya berketip-ketip memandang foto keluarganya yang dipajang di dinding sambil memainkan bibirnya untuk bernyanyi kecil. Setelah agak lama ia memejamkan matanya, kembali ia buka kelopak mata dan pandangnnya tertuju pada diary yang ia letakkan di meja belajar. Ia buka dan mulai membaca di meja belajar. Bee hanya bisa menarik nafas panjang dengan memejamkan matanya. Lalu ia lanjutkan lagi untuk membaca tulisannya sendiri yang ia tulis semasa kecilnya dulu. Di sana tertulis sesuatu. Begini ceritanya.
Kenapa rasanya sungguh mengganjal. Seperti ada duri yang menusuk ke hulu hati mamaku. Setiap malam, setiap menatap pamanku, dan bahkan setiap melihatku mama selalu menumpahkan air matanya. Mamaku terisak. Seolah-olah diwaktu malam, kehadiran paman dan diriku membuat suasa menjadi menyeramkan. Setiap kubertanya pelan, mama hanya bisa memelukku erat. Beliau mengusapkan ingus dan air matannya tepat di pundakku. Alhasil pundak mungilku yang tertutup oleh baju menjadi basah. Terkadang aku juga ikut menangis bersamanya. Tapi, tidak dengan pamanku. Ia hanya melihat aku dan mamaku yang sedang terisak kemudian meninggalkan kami berdua. Aku juga sempat bertanya kepada pamanku, apa yang sebenarnya telah terjadi. Tapi paman selalu menjawab, ‘ini belum waktunya’. Lalu aku terdiam. Memikirkan suatu hal. Apakah sangat tidak pantas bila bocah berumur 2 tahun mengetahui permasalahan yang menimpa keluarganya? Terkadang sih aku mikirnya gitu. Walaupun usia bisa dibilang begitu dini, tetapi tolak pikirku sudah sampai pada titik itu. Maklum saja, pada waktu itu pamanku sudah berusia 14 tahun. Dengan usia segitu, mungkin sudah dapat mengerti permasalahan orang dewasa. Tetapi, di usiaku sekarang, pamanku malah menuntutku untuk dapat menguasai beberapa teknik beladiri dan menguasai pembelajaran umum. Hanya teknik-teknik dasar saja yang diajarkan oleh pelatihku disaat usiaku 2 tahun. Paman rela mendatangkan pelatih hebat untuk sekedar melatihku. Anehnya, aku tidak pernah menangis dan takut. Justru sebaliknya. Saat malam datang, ada guru pembimbing yang senantiasa membimbingku. Aku mulai belajar mengeja dan menghafal huruf alphabet. Begitu seterusnya hari-hari yang kujalani.
Di usiaku yang sudah beranjak menjadi 5 tahun, tangisan mamaku sudah jarang terdengar lagi. Hal itu sudah membuat diriku menjadi sedikit lebih tenang. Tetapi tidak dengan rasa penasaranku. Rasa penasaranku tetap berlalu-lalang di otakku. Aku hanya bisa mengira-mingira tanpa tahu kebenarannya. Di sisi lain, paman selalu membisikkan, ‘Sudahlah kamu tenang saja. Tidak usah dipkirkan. Kamu fokus saja sama pembelajaranmu. Suatu saat kamu pasti akan tahu semuanya,’ begitulah bisikan pamanku.
2 tahun kemudian. Aku sudah mulai mengenal lebih dalam dengan ilmu bela diriku dan otakku sudah mulai terisi dengan berbagai ilmu. Begitu pula mamaku. Mamaku sudah mulai bangkit dari masa kelamnya yang dibanjiri oleh air mata. Mamaku sudah bisa memelukku dengan tatapan sayang dan senyum bahagia. Aku senang sekali melihat mama telah bangkit. Rasa senangku ini juga dirasakan oleh pamanku. Mamaku berkali-kali lipat mendukung kegiatan yang kutekuni sekarang. Mama juga amat menyesal, karena tak begitu mengurusku dan memerhatikan pertumbuhanku dengan seksama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Hunter
ActionHidup yang keras dan diluar dugaan. Tak percaya, apakah ini hanya bunga tidur atau takdir? Semua terlihat nyata dan amat mengerikan. Tetapi, ini sudah menjadi pilihan dari seorang anak perempuan dengan paras cantik namun mematikan.