Marshon melihat keponakannya tidur dengan pulas di ranjang mewahnya. Dia urungkan untuk bertanya mengenai Baskara. Marshon mendekatkan wajahnya dan mulai mencium kening Bee dan mengelus-elus puncak kepalanya. Bee tekejut terhadap elusan Marshon dan akhirnya terbangun.
“Ha?” tanyanya sembari membuka mata dengan berat.
“Kok tumben sore-sore tidur? Biasanya olahraga,” Marshon mendudukan bokongnya dipinggir ranjang Bee. Mengelus-elus kaki Bee yang masih tertutup selimut.
“Auh,” reflek Bee kesakitan.
“Kamu kenapa? Paman lho cumak megang nggak nyubit apalagi mukul,” Marshon menaikkan tangannya dengan mengerutkan dahi. Dibukalah selimut itu dan kakinya nampak mulai membiru.
“Tadi aku jatuh terus terkilir,”
“Sakit ya?”
“Kalo sakitnya sih nggak terlalu. Tapi, rasanya lemes banget kakiku ini,” Bee mengelus-elus kakinya sendiri.
“Bentar paman mau ambil dulu spray-nya,” Marshon keluar dari kamar Bee dan mengambil sejenis spray, chrol etil. Untuk membantu penyembuhan kaki Bee. Disemprotkan ke kaki yang terkilir.
Sehingga, semua aktivitas Bee, Marshonlah yang sedia membantu. Dengan telaten Marshon menyuapi makanan, membantu Bee berjalan ke kamar mandi, dan membantu Bee melakukan berbagai aktivitas.“Kalo paman boleh nanya, kamu dapat informasi apa tentang Baskara?” mereka duduk berdua dengan menikmati pemandangan taman di samping rumahnya. Bee menceritakan semuanya. Semua yang dialami oleh Margareta.
“Sepertinya dia ada main dengan uang sekolah,” kembali Marshon berpikir keras.
“Besok aku pura-pura aja mau ada urusan dengan Pak Baskara. Nanti aku pasangkan kamera,” usul Bee bijak.
“Nanti biar paman siapin kameranya,”
Udara sore menuju malam mulai dingin. Memilih melakukan aktivitas di dalam rumah adalah pilihan terbaik.
***
Tidak terasa Bee sudah menginjakkan kaki di kelas. Tumben banget dia datang nomor satu. Pagi banget datangnya. Saat selot pintu sudah ia pegang, terasa ada yang menepuk pundaknya. Dilihatnya dengan berbalik badan. Dua cewek tak dikenal melemparkan senyum ke Bee. Maksudnya Bee yang belum kenal.
“Ada sesuatu yang perlu kita obrolin. Bolehkan minta waktunya sebentar?” kata-kata ramah itu lolos dari mulut salah satu cewek tak dikenal oleh Bee.
“Ada apa?”
“Tapi kita ngobrolnya di atap aja. Nanti takutnya ada yang nguping. Ini rahasia,” kata cewek satunya. Diakhir kalimat ia mendekat dan berbisik di telinga Bee. Bee menyanggupi dan berjalan dibelakang dua cewek itu. Saat membuka pintu terakhir menuju atap, terlihat cewek yang sedang membelakangi pintu. Dia berbalik saat mendengan suara tapakan kaki mulai mendekat.
“Hai,” sapa dia dengan gaya melambaikan tangan.
“Oh tenyata ini jebakan,” desah Bee dalam hati. Bee langsung memasang wajah dingin banget. Ditambah matanya yang menjadi sipit dan bibir mulai kaku.
“Tanpa perkenalan, kamu juga tau siapa aku,” dengan melangkahkan kakinya semakin dekat dengan Bee.
“Langsung aja, nggak usah banyak omong!” suara Bee dengan penekanan.
“Oke jika itu maumu. Kenapa kamu deketin Boy?!” jambak mak lampir Pinky. Tapi, Bee buru-buru menepis. Sebelum rasa sakit menyerang.
“Deketin? Pertanyaanmu itu sungguh nggak penting,” Bee berpaling.
“Emang ya, cewek kayak kamu itu sukanya godain pacar orang. Udah merasa paling cantik?!” Pinky memutar posisi Bee, agar dapat saling melempar tatapan tajam.
“Punya mulut dijaga! Inget ya, aku nggak pernah sedikitpun tertarik dengan cowokmu. Bahkan sebutir debu pun aku nggak pernah punya rasa. Kamu jangan seenaknya ngomong! Bicara baik-baik nggak bisa ha?” terus berjalan mendekat, tetapi Pinky malah berjalan mundur. Bee hanya ingin memberikan tatapan membunuh kepada Pinky. Pinky agak merinding takut. Tapi gengsi untuk mengangkat bendera putihnya. Dirasa benteng perlindungan Pinky akan hancur, kedua teman Pinky membantu dengan mendorong Bee untuk menjauh dari tatapan ketuanya, Pinky. Bee hanya tersentak mundur, tapi tak roboh. Bee lebih memilih melangkah keluar dari tempat terkutuk itu dan membanting pintu dengan kasar. Sebenarnya tempat itu, bukan tempat terkutuk. Hanya saja ada Pinky dan dua temannya yang membuat tempat itu menjadi terkutuk.
“Kamu masih pagi, udah keringetan aja?” tanya Viany. Bee menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan dengan halus diikuti seyum tipis.
“Abis lari tadi. Biar cepet sampai ke kelas,” beruntung Bee bisa menutupi.
“Pantes aja rambutmu berantakan juga,” Viany menghampiri dan merapikan rambut Bee. Ardelia dan Margareta masih sibuk dengan urusan data kelas.
“PENGUMUMAN! HARI INI BAPAK DAN IBU GURU TIDAK BISA MEMBERIKAN PELAJARAN TERLEBIH DAHULU DIKARENAKAN RAPAT. SEKARANG SISWA SISWI DIMOHON BELAJAR MANDIRI DI KELAS. SEKIAN TERIMAKASIH,” pengumuman keras dari TU. Membuat semua murid gempar bersorak bahagia.
“Bruak!” suara pintu kelas yang dibuka dengan kasar. Di ambang pintu sudah nampak Boy yang amat marah. Semua siswa kaget dan bertanya-tanya saat melihat ke arah berdirinya Boy.
“Siapa cewek pindahan itu?!” tanya dia penuh emosi. Semua mata tertuju kepada Bee.
“Aku,” Bee melangkah maju ke depan menghampiri Boy. Boy yang melihat bahwa itu Bee, dia mulai bimbang sekejap. Tapi, rasa bimbang itu hilang saat Pinky masuk ke dalam kelas barunya Bee.
“Dasar cewek nggak tau diri!”
“Plak,” tangan Boy melayang menampar Bee yang sudah berdiri di depannya. Bee terdiam. Tangannnya mulai mengepal. Ingin membalas dan menjotos Boy habis-habisan. Margareta sebagai ketua kelas langsung ikut maju dan melerai. Tapi, sayang teman-teman Pinky sudah menghadang Margareta dengan kuat.
“Apa maksudmu menamparku?” tanya Bee dengan nada paling rendah. Mata Bee sudah menyorot tajam kearah Boy dan bergantian menatap Pinky. Pinky mengeluarkan seyum liciknya.
“Boy, namamu aja yang Boy. Tapi, sikapmu sungguh buruk dan memalukan,” dengan santai Bintang melangkah ke depan, menghampiri mereka.
“Nggak usah ikut campur!” sentak Boy kepada Bintang.
“Kamu marah gara-gara Pinky ngadu? Kalo Pinky ditampar oleh Bee saat mereka di atap?” kata Bintang masih santai.
“Bacot!” tinju dari Boy melayang tepat mengenai sudut bibir milik Bintang. Karena kekuatan keras dari pukulan itu, membuat Bintang terjatuh. Bintang buru-buru bangkit dan mencengkram kerah Boy dan balas menjotos Boy, hingga Boy terlempar sampai di teras depan pintu. Bintang menghampirinya dan memukul berkali-kali wajah Boy. Tapi, Boy nggak mau kalah, dengan posisi Bintang yang masih di atasnya, buru-buru ia menendang perut Bintang dan membuat bintang terjatuh. Bertubi-tubi Boy memukul Bintang. Tak ada yang berani melerai mereka. Kini mereka hanya bisa menjadi tontonan ala MMA.
“Bruak,” suara Boy yang menghantam vas bunga. Disaat Boy memukul tanpa ampun kepada Bintang, Bee tak tinggal diam. Bee menggenggam erat rambut Boy dan melemparnya tepat menghantam vas bunga. Hingga membuat vas tak bersalah menjadi pecah. Penonton kaget saat melihat aksi Bee. Boy menatapnya bingung. Bintang sudah babak belur dan pingsan dibuat Boy. Bee dengan kasar mencengkram kerah Boy. Bee memukul dengan bringas. Disaat kondisi Boy yang sudah teler dan berlumur darah, Bee membisikkan sesuatu di telinganya.
“Inget ya! Aku nggak pernah menyentuh kekasihmu. Bahkan sehelai rambutpun aku tidak pernah. Mulut pacarmu itu memang busuk!” Bee membanting sekali lagi tubuh Boy. Ternyata Pinky tak tinggal diam, ia menjambak rambut Bee. Karena kesal Bee menginjak kaki Pinky. Pinky langsung melepas jambakan itu.
“Dasar cewek kurang ajar! Beraninya mukul pacarku hah?!” Pinky menatap tajam.
“Matamu buta hah? Kamu nggak ngeliat Bintang pingsan dipukul habis-habisan oleh Boy? Nggak cowok nggak cewek sama aja!” Bee ganti menatap Pinky dua kali lebih tajam. Bee dan Pinky saling beradu mulut.
“WOY YANG DI SANA, BUBAR!” suara lelaki tua itu membuat semua murid menatap kearahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Hunter
ActionHidup yang keras dan diluar dugaan. Tak percaya, apakah ini hanya bunga tidur atau takdir? Semua terlihat nyata dan amat mengerikan. Tetapi, ini sudah menjadi pilihan dari seorang anak perempuan dengan paras cantik namun mematikan.