“Bee bangun, sudah pagi,” bugah paman dengan sedikit menepuk lembut pundak Bee.
“Hoam… ah badanku,” rintih Bee sambil memegang pinggangnya yang agak sakit.
“Kamu semalaman tidur di meja belajar ini?”
“Iya kayaknya. Oh tidaaakk diary-ku basah,” Bee mengangkat diary yang sudah setengah bagiannya basah. Sudah tahu sendirilah ya, basah karena apa.
“Ih jorok banget. Udah-udah kamu cepetan mandi dan siap-siap. Paman tunggu di meja makan,”
“Iya iya,” dengan langkah gontai Bee menuju kamar mandi.
13 menit berlalu. Bee keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan. Di meja makan sudah terlihat Marshon tengah mengunyah makanan. Bee menghampirinya dan ikut bergabung dalam acara sarapan.
“Paman aku bawa mobil sendiri aja ya!” pinta Bee dengan wajah memelas.“Ngapain bawa mobil sendiri?”
“Aku nggak mau nunggu paman terlalu lama. Capek paman,”
“Beneran? Emang kamu sudah hafal jalan menuju sekolah?”
“Santai aja paman,”
“Ya udah terserah kamu,”
“Yes,” hati Bee sangat lega. Akhirnya dia tidak perlu menunggu terlalu lama. Kejadian kemarin nggak akan terulang lagi.
Acara sarapan sudah berakhir. Bee berangkat lebih dulu dengan mengendarai mobil sport khusus miliknya. Tak lupa memakai kacamata hitam yang elegan. Sesampainya di sekolah semua mata tertuju pada mobil mewah milik Bee. Ia parkirkan di tempat yang sudah disediakan. Sesegera ia menuju kelasnya. 20 menit kemudian pembelajaran dimulai dengan lancar. Tak terasa waktu bergulir dan menunjukkan jam istirahat.
“Bee boleh minta tolong?” pinta Margareta.
“Minta tolong apa?”
“Tolong bantu aku mengantarkan buku-buku ini ke ruang guru,” Bee langsung mengambil setengah dari tumpukan buku yang dibawa Margareta.
“Kalian berdua langsung aja ke kantin. Nanti aku sama Bee nyusul,” suruh Margareta kepada kedua temannya, Viany dan Ardelia. Hanya anggukan yang dibalas oleh mereka berdua.
Mereka berjalan berdampingan. Tiba-tiba seorang siswi kelas sebelah yang kece badai melemparkan bola tenis tepat mengenai kepala Margareta. Margareta terkejut hingga buku yang ia bawa jetuh berserakan.
“Pinky!” teriak Margareta sambil mengelus-elus kepalanya yang sakit.
“Sakit?!” jawabnya dengan sinis sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Padahal Margareta yang kena malah Pinky yang sinis. Bukannya kebalik?
Margareta mendengus kesal. Ia lebih memilih untuk merapikan buku yang berserakan. Bee yang menyaksikan kejadian itu merasa tak terima melihat teman barunya disakiti. Bee melangkahkan kakinya lebih dekat dengan Pinky. Menatapnya dengan penuh tatapan tak suka. Dengan cepat Margareta menarik lengan Bee dan menggelengkan kepalanya pertanda tidak usah dibalas. Margareta dan Bee pergi meninggalkan Pinky.“Kenapa Pink?” tanya kedua teman Pinky.
“Tuh,” tunjuk Pinky kepada Margareta yang sudah agak jauh.
Sembarinya mengantarkan buku, mereka memutuskan untuk kembali ke kelas.“Nggak ke kantin?” ajak Margareta saat sudah tiba di kelas.
“Bukankah lemparan bola tadi cukup keras? Apa kita perlu ke UKS?” tanya Bee khawatir melihat kondisi Margareta yang sesekali mengusap kepalanya.
“Aku nggak papa kok. Tolong jangan kasih tahu Viany dan Ardelia ya,” pinta Margareta memohon.
“Emangnya kenapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Hunter
ActionHidup yang keras dan diluar dugaan. Tak percaya, apakah ini hanya bunga tidur atau takdir? Semua terlihat nyata dan amat mengerikan. Tetapi, ini sudah menjadi pilihan dari seorang anak perempuan dengan paras cantik namun mematikan.