BAB II

13 2 0
                                    

"Adara, gimana perkembangannya?" Dhito nanya gue.

"Mmm... gue udah ada ide sih Dhit," jawab gue. Nangkep aja si Dhito. Padahal gue baru mikirin gimana cara jelasin ke semua orang tentang ide gue ini dan segala permasalahannya.

"Apa tuh Ra? Majalah kita seminggu lagi udah mau rilis loh," ujar Dhito yang kayaknya lagi nunggu penjelasan gue. Udah gak bisa menghindar deh gue.

"Jadi... gini... buat korner beauty yang lo kasih gua Dhit, gue mikir mau adain interview pendek tentang gimana cara merawat diri, hal-hal yang dilakukan sehari-hari, dan apa persepsi mereka tentang beauty," jelas gue.

"Tapi kali ini gue mau semua narasumbernya cowo," gue melanjutkan. Satu... dua.. tiga... lebih dari tiga detik berlalu dan tidak ada respon. Biasa tim majalah adalah kelompok mahluk yang jalan idenya lebih cepat daripada kecepatan cahaya. Kali ini semua diam dan hanya melihat ke arah gue.

"Aneh ya ide gue?" tanya gue dengan setengah yakin.

"Nggak.. nggak seaneh itu..." jawab Dhito menenangkan tapi gue yakin dia juga masih bingung sama ide gue.

"Jujur agak aneh sih kak," celetuk Gavin Dhakara. Adik kelas gue anggota majalah juga. Anak ini kalau ngomong emang gak pernah disensor jadi gak terlalu gue pikirin. Sekarang yang penting hanya persetujuan dari Dhito dan kayaknya gue udah setengah berhasil.

"Agak eksperimental khususnya dalam waktu sependek ini... tapi Ra, kalo lo berhasil mungkin bakal jadi menarik buat majalah kita," Dhito akhirnya memberi mandatnya.

Persetujuan Dhito udah ada di tangan gue. Sekarang masalahnya adalah gak mungkin gue ngerjain ini semua sendiri. Bayangin, gue jelasin ide gue ke anggota tim majalah aja susah. Apalagi ke narasumber. Gue butuh seseorang yang lain. Mungkin kayak Dhito yang cerewet abis atau si Gavin yang blak-blakan. Mereka harusnya sih lebih punya nyali daripada gue. Gimana ya cara menghasut satu dari antara dua orang itu, seengaknya sebelum rapat berakhir.

"Tuh vin, denger kata Dhito. Biar lo gak asing sama ide gue, bantuin gue aja yok. Udah selesai kan kerjaan lo?" gue nanya sambil sedikit kasih senyum dan mata memaksa ke Gavin.

"Aduh kak, gimana ya, tulisan masih ada yang harus direvisi nih," ucap Gavin.

"Yang lain? Gak ada yang tertarik atau sekedar mau membantu," tanya gue lagi sambil sedikit-sedikit melihat ke Dhito. Harapan terakhir gue. Tapi tetap Dhito gak mendapat signal telepathy dari gue.

***

Rapat selesai.

Dan gue masih belom menemukan satu pun orang yang berniat membantu gue. Gue tunggu sampai semua orang keluar untuk menangkap kambing hitam gue.

"Dhit," panggil gue.

"Kenapa Ra?"

"Lo kan temen gue, bantuin gue lah," gue udah mulai melas. Bukan gue banget nih.

"Ide lo ya lo yang lanjutin dong, Ra. Lagian lo udah biasa nyari dan wawancara narasumber kan? Udah hampir setahun lu disini," jawab Dhito sabar sambil bersiap-siap keluar.

"Ya tapi ini beda. Gue ngaku ide gue agak abstrak. Pasti ditolak duluan, di negara kita kan cowo pake skincare bukan hal yang lumrah. Ya, kecuali buat fans korea sih. Takut ah gue ntar dikira aneh apalagi sama cowo-cowo cakep. Kan sedih," gue beralasan ke Dhito.

"Gue. Gue gak anggep lo aneh kan," jawab Dhito.

"Ya bukan gitu juga Dhit.... Dhit tunggu gue dong jangan lari duluan," gue sedikit teriak. Udah mau kabur aja si Dhito. Kenapa susah amat cari orang buat bantuin gue. Gue sempet mikir apa ide gue se aneh itu atau emang lagi pada sibuk aja ngejar deadline.

Karangan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang