12 Days

49 17 7
                                    

Setelah hampir seharian di kereta, Nana akhirnya tiba di tempat tujuan. Ia lantas menukar kartu dengan uang tunai, gadis itu baru saja ingin memesan grab, tapi tiba-tiba matanya terpusat pada Angkasa—kakaknya Biru.

 Ia lantas menukar kartu dengan uang tunai, gadis itu baru saja ingin memesan grab, tapi tiba-tiba matanya terpusat pada Angkasa—kakaknya Biru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nana lantas fokus kembali pada handphonenya,

"Na, ikut saya mau gak? Saya baru dapat kabar, katanya Biru demam karena kecapean, terus manggil-manggil nama kamu"

"Sekarang Biru gimana?" Nana seketika memasukkan kembali handphonenya.

"Ya makanya kamu ikut ya. Biar lihat langsung" Nana respect mangut-mangut.

Mereka akhirnya pergi ke rumah sakit dengan taksi.

"Kamu tau tidak, Na?" Nana mengalihkan pandangannya dari jendela, lalu menghadap ke depan tempat Angkasa duduk bersebelahan dengan sang supir.

"Tau apa?"

"Kembaranmu, dia orang yang sangat di sukai Biru dulu. Mungkin kamu tidak tau, karena Fana selalu menyebutnya dengan nama Langit, ya kan?"

"Andai saya tinggal di Indonesia. Mungkin kak Fana dan Biru sekarang sudah sama-sama bahagia ya? Oh iya, saya mau tanya sesuatu, boleh?"

"Tanya aja"

"Biru kenapa matanya bisa seperti itu?"

Sebelum menjawab Angkasa menghela nafas panjang,

"Setelah Fana hilang dan tidak di temukan keberadaannya bersama dengan pilot itu. Langit nangis dan mengurung diri. Ia merasa usaha dia untuk mendapatkan Fana selama ini itu sia-sia. Itu penyebabnya, kebanyakan membuang air mata, tidak makan berhari-hari. Kata dokter ada syaraf yang rusak. Saya juga kurang paham soal medis"

"Oh.. Gitu"

 Gitu"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Biru gak apa-apa?" suara Nana yang masuk ke pendengaran Biru, membuat pemuda itu tersenyum penuh arti.

Rindunya hilang, pikirnya demikian.

"Aku gak apa-apa kok" ucapnya dengan senyuman yang ia nampakkan.

"Kata suster kamu harus banyak istirahat. Jangan begadang, di jaga mata kamu" Angkasa pun melangkahkan kaki meninggalkan ruangan tersebut. Tanpa berniat pamit sedikitpun.

"Aku pulang dulu ya. Mau taruh barang-barang. Oh iya, kamu kenal Fana gak?" tanyanya sebelum beranjak dari sana.

"Fana.. Kenapa? Kamu kenal dia?" Biru balik bertanya.

"Kalau kamu udah bisa liat, pasti kamu tau kok" setelah itu Nana keluar dari sana. Menyisakan Biru yang kebingungan dengan penuturan Nana.

Sesampainya di rumah, gadis itu merebahkan diri. Lantas mengambil polaroid foto dirinya dengan sang kakak.

"Ternyata dia cinta pertama kamu ya? Mungkin sekarang dia juga cinta pertamaku. Maaf, kak Fana. Tenang aja, bentar lagi aku nyusul kamu kok. Jadi, kita impas"

Nana memejamkan matanya, tanpa sadar di sana ada Jenderal yang menatapnya iba.

Tak lama Nana bangun, lalu menatap Jenderal yang nampak terkejut.

"Ngapain di sana?"

"Gak ngapa-ngapain. Saya kasian aja sama kamu, memangnya jatuh cinta serumit itu ya?"

"Malaikat gak pernah jatuh cinta ya?"

"Saya lupa. Kamu tau, kalau ada beberapa malaikat yang sebelumnya dia itu manusia?"

"Ha? Emang ada?" Nana memasang ekspresi terkejutnya.

"Contohnya saya, tapi saya lupa di kehidupan saya yang dulu itu seperti apa. Tiba-tiba saja saya jadi malaikat maut, rasanya seperti terlahir kembali. Saya juga merasa, saya dan kamu ada suatu hubungan"

"Hubungan gimana?"

"Buktinya kamu bisa melihat saya, dan saya bisa menyentuh kamu"

Mereka sama-sama tertunduk, takdir mereka sama-sama rumit. Tidak bisa di mengerti. Entah bagaimana banyak hal yang terjadi di luar nalar, dan dari itu semua hanya Tuhan yang tau.























 Entah bagaimana banyak hal yang terjadi di luar nalar, dan dari itu semua hanya Tuhan yang tau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐒𝐮𝐤𝐚𝐫 𝐓𝐞𝐫𝐠𝐚𝐩𝐚𝐢『√』Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang