♔07♔

39 10 2
                                    

"Dek, mau bantuin bunda gak?" Terdengar teriakan bunda dari arah dapur.

"Mau!" Aily segera turun dari kamarnya di lantai atas.

"Gula di dapur abis. Bunda lupa beli kemarin. Bantuin beli di toko depan ya, dek."

"Key! Tapi lebihin ya, bun. Kembaliannya buat Aily jajan hehe."

Bunda menghela nafas, "Makin embul kamu, dek. Jajan mulu."

Bunda mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari saku roknya lalu memberikannya pada Aily.

"Aily gak gendut, bundaaaa."

Bunda menoel pipi Aily, "Iya kamu gak gendut, pipi kamu yang gendut."

"Hehe.. yaudah Aily keluar dulu. Dadaaah, bunda!" seru Aily lalu berlari kecil keluar rumah.

Bunda hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum, "Manisnya bayi bunda~"

. . . . . . . . . .

"Sore, Tante!"

"Aily sayang, kan udah dibilangin jangan panggil tante. Panggil kakak, oke?" ucap seorang wanita berusia dua puluhan, pemilik toko.

Entah kenapa Aily selalu memanggilnya tante. Padahal usia mereka tidak jauh berbeda. Untung aja nih anak lucu, batinnya.

Aily hanya cengengesan.

"Yaudah.. Aily mau beli apa?"

"Aily mau beli gula," kata Aily ceria.

"Yaudah ambil sendiri ya. Aily udah tahu tempatnya, kan?"

Sang pemilik toko memang sudah percaya pada Aily. Kalau belanja disini, Aily akan ia suruh mengambil sendiri.

Berbeda dengan sahabatnya, Raga. Pemilik toko tak percaya pada Raga. Cowok itu pernah terciduk mengambil dua coklat coki-coki padahal bilangnya hanya beli satu.

Aily mengangguk cepat dan segera menuju ke tempat gula. Selain mengambil gula, Aily juga mengambil beberapa oreo dan snack lainnya.

Selesai dengan belanjaannya, Aily kembali ke meja kasir. Memberikan barang belanjaannya untuk ditotal.

"Udah semua?" tanya sang pemilik toko.

Aily mengangguk yakin. Setelah membayar dan mengambil kembaliannya, Aily mengambil satu kresek besar dari tangan pemilik toko.

"Makasih, Tante!" teriaknya lalu segera berlari sambil tertawa.

Sang pemilik toko menghela nafas sabar.

. . . . . . . . . .

Di depan rumahnya, Aily bertemu dengan Rafael yang baru saja turun dari motor. Aily berlari memeluk leher kakaknya dari belakang.

"Kak El, gendong~"

Rafael yang baru saja ingin membuka helmnya tersentak kaget, "Gak ah! Adek berat," guraunya.

"Bohong! Ayo kak, gendong~!" Aily mempererat pelukannya dileher Rafael.

"Iya... sabar, dek."

Rafael membuka helm lalu menggantungnya di spion. Kedua tangannya terulur kebelakang, menyangga badan Aily. Setelah merasa Aily aman dipunggungnya, ia segera menggendong Aily masuk kedalam.

"Goooo!" Seru Aily semangat.

Rafael hanya tertawa. Ia ikut senang jika adik kesayangannya itu senang.

"Awas! Ada angin puting beliung!" teriak Rafael.

Aily tertawa keras ketika Rafael membawanya berputar-putar.

Setelah puas berputar-putar, Rafael menurunkan Aily disofa. Ia ikut merebahkan dirinya disana. Dada Rafael  naik turun menyesuaikan nafasnya. Meskipun adiknya itu kurus, tapi tetap saja Rafael lelah.

Rafael sadar, Aily bukan lagi adiknya yang berumur 5 tahun. Adiknya itu sudah tumbuh besar. Dan pastinya tidak seringan dulu.

Tapi rasa sayangnya pada Aily tidak akan pernah berubah. Berapapun usia adiknya itu, ia akan tetap memanjakannya.

"Makasih, Kak El!" Ucap Aily ceria. Tangannya mengambil sebungkus oreo berwarna merah muda dari kresek besar yang ia taruh diatas meja, kemudian mengulurkannya pada Rafael.

"Tumben ngasih oreo? Biasanya juga coklat koin," tanya Rafael. Dengan terharu ia mengambil oreo dari tangan Aily.

"Iya, itu gak sengaja kebeli. Buat Kak El aja. Adek gak suka rasa strawberry. Kan sayang kalau dibuang," kata Aily polos.

Raut wajah Rafael berubah datar, "Kamu emang gak ada manis-manisnya ya ke kakak."



bersambung

RAGA & AILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang