42 : Tidak Ada Harapan?

10.1K 614 51
                                    

Give me your vote and comment.

*****&*****

Sejak kemarin, Rangga terus menunggu Diva. Meskipun Rangga belum diperbolehkan menjenguk karena keadaan Diva yang masih mengkhawatirkan, Rangga setia menunggu istrinya di kursi. Tak peduli wajahnya kumal, perutnya lapar, dan tubuhnya lemas.

"Rang, lebih baik kamu pulang dulu. Kamu mandi, makan, dan istirahat sebentar." Ray memegang pundak Rangga.

"Nggak Ray, aku takut sesuatu terjadi sama Diva kalau aku pulang," ucap Rangga. Ray menghela nafas.

"Gue juga pernah kok ada di posisi ini. Gue dulu kayak lo, selalu pengin nunggu Sinta. Tapi, gue sadar kalau gue punya kewajiban lain. Yaitu anak gue," terang Ray.

"Oleh karena itu, gue mengurus diri gue juga. Gue gak bersikap egois dengan terus terpaku sama Sinta," ucap Ray lagi. Rangga masih diam.

"Lo pulang ya, Rang? Biar giliran gue yang jaga Diva. Lo harus yakin kalau dia gak bakal kenapa-napa," ucap Ray. Rangga akhirnya berdiri. Dia menatap Ray dengan memasang senyum tipis.

"Aku titip Diva, Ray," ucap Rangga sebelum pergi. Ray menganggukkan kepalanya.

Entah terlalu bucin atau memang sangat khawatir, Rangga pulang hanya untuk mandi dan makan. Setelahnya ia kembali ke rumah sakit. Langkah Rangga terhenti tak jauh dari Ray dan Sinta yang ada di depan ruang rawat Diva. Air mata Rangga menetes melihat buah hatinya ada di gendongan Sinta. Rangga merasa dia adalah ayah yang jahat karena melupakan malaikat kecilnya sendiri.

"Sayang," ucap Rangga mendekati Sinta. Dia mencium putrinya dengan lembut. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Mau gendong?" Tanya Sinta yang langsung diangguki oleh Rangga. Dengan sangat hati-hati, Sinta mengalihkan gendongan cucunya pada Rangga. Sudah biasa menggendong Diva saat kecil, Rangga begitu lihai menggendong anaknya.

"Maafin Papa baru gendong kamu, sayang," ucap Rangga kembali mencium putrinya. Rangga tersenyum saat anaknya merespon dengan gumaman kecil.

"Dia mirip banget sama kamu, Rang," ucap Sinta. Rangga tersenyum karena merasa ucapan Sinta betul.

"Namanya siapa, Rang?" Tanya Ray mencolek hidung cucunya. Rangga diam sejenak. Dia mengingat-ingat nama yang telah Diva siapkan untuk anak mereka.

"Avara Naomi Danuraga," jawab Rangga dengan mantap.

"Panggilannya siapa?" Tanya Sinta.

"Vara, dari Diva dan Rangga." Rangga kembali menjawab dengan lantang. Baik Sinta maupun Ray tersenyum. Dua manusia itu memang saling membucin hingga nama anak pun gabungan dari nama mereka.

"Kenapa sayang?" Tanya Rangga ketika Vara menggerakkan mulutnya seperti mengucapkan sesuatu.

"Semua anak pasti membutuhkan seorang ibu setelah lahir," ucap Ray membuat Rangga menutup matanya sejenak.

Tidak lama, Acha datang dan berpamitan melakukan pemeriksaan pada Diva. Rangga sangat berharap hasilnya sudah lebih baik dari kemarin. Bahkan, Rangga berharap Diva terbangun hari ini dan memeluk anak mereka.

"Hey, Rang. Selamat ya buat kelahiran anak lo," ucap Resya yang datang bersama Alfi juga Nicholas.

"Turut sedih juga ya atas keadaan Diva," ucap Alfi menepuk pundak Rangga. Sembari tersenyum tipis, Rangga menganggukkan kepala.

"Anak lo cantik banget, Rang. Mirip banget lagi sama lo. Akhirnya, impian lo terwujud juga," ujar Resya. Sifat cerianya membuat Rangga sedikit merasa lebih baik.

"Iya, Res. Gue bersyukur banget."

Acha yang baru saja keluar dari ruang rawat lagi-lagi diserbu oleh orang yang ada disana. Bahkan, Dava yang baru saja datang bersama tiga adiknya pun langsung mendekat. Mereka ingin tahu perkembangan keadaan Diva.

"Aku minta maaf sekali lagi. Kemungkinan Diva selamat semakin kecil. Detak jantungnya semakin melemah. Bahkan, kalau alat medis di lepas jantung Diva mungkin detaknya akan sangat-sangat lemah atau paling buruk tidak berdetak lagi," jelas Acha.

"Cha, ayo dong usaha biar Diva lebih baik. Lo kan dokter. Lo pasti bisa lakuij itu," ucap Rangga dengan mata berkaca-kaca.

"Aku udah usaha, Rang. Tapi, kehendak Tuhan begini," ucap Acha. Air mata Rangga turun disertai tangisan Vara. Anak itu seakan tahu ibunya dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

"Cup, cup, cup, Vara gak boleh nangis. Nanti Papa makin sedih, sayang," ucap Rangga menenangkan anaknya. Dia duduk sembari terus menimang agar Vara berhenti menangis.

"Papa tahu kamu pasti juga takut kehilangan Mama. Tapi, Papa mohon jangan nangis. Jangan bikin Papa semakin lemah," ucap Rangga menahan air matanya agar tidak semakin deras.

Resya menatap Rangga sangat iba. Selama ia mengenal Rangga, ia tak pernah melihat Rangga secengeng dan selemah itu. Hanya Diva yang berhasil membuat si keras Rangga menjadi lemah lembut.

"Rang, Diva sama-sama penting di hidup kita. Makanya, kita harus saling menguatkan," ucap Sinta yang matanya juga sudah merah karena menangis. Sedangkan, Ray memilih diam di tempatnya sembari menunduk. Dia juga menangis. Dia takut kehilangan putri sulung yang ia sayangi.

"Aku gak bisa kuat lagi, Ta. Aku bener-bener udah lemah," ucap Rangga memandang Vara yang masih merengek.

"Tante Acha, aku boleh masuk buat ketemu Diva ya?" Tanya Dava.

"Iya, tapi jangan buat bising," jawab Acha. Dava mengangguk dan langsung masuk.

Dava berdiri dengan jarak yang lumayan jauh. Air mata yang sejak tadi ia tahan langsung turun. Melihat kembarannya terbaring tak berdaya, Dava merasakan sakit. Dia juga bisa merasakan bagaimana perjuangan Diva.

"Div, lo emang lemah. Gue akui itu. Tapi, gue yakin lo bisa melalui ini. Gue yakin lo gak tega ninggalin anak lo," ucap Dava.

"Gak lucu kan Div kalau Om Rangga jadi duda lagi? Bakal lucu juga kan kalau gue kehilangan lo? Gue bakal kayak sandal sebelah kiri yang kehilangan sandal sebelah kanan," ucap Dava sedikit menghibur diri.

"Lo harus jadi kuat untuk kali ini demi semua orang yang sayang sama lo. Gue sebagai kembaran lo pengin tetep lihat lo bahagia sama keluarga kecil lo," ucap Dava. Dia sangat berharap, Diva mendengar semua ucapannya dan Diva akan berjuang lebih keras lagi untuk selamat.

Di luar, Rangga hanya duduk dan memandang wajah cantik anaknya yang sudah kembali tertidur. Dia sebenarnya ingin berusaha menjenguk Diva, tapi dia tak cukup kuat. Dia takut seperti orang gila di dalam sana dan mengganggu Diva jika memaksa untuk menjenguk. Lebih baik, ia bersama Vara.

"Kamu gak boleh nangis lagi, sayang. Cuma kamu yang bisa menguatkan Papa. Cuma kamu yang bisa meyakinkan Papa," ucap Rangga. Vara menggerakkan tubuhnya dan menggerakan mulutnya. Dia juga mengeluarkan gumaman kecil.

"Lihat Om, anak Om gak nangis. Masa Om nangis sih?" Ledek Gea. Rangga tersenyum dan langsung menghapus air matanya.

"Namanya Vara ya, Om?" Tanya Gea. Rangga menganggukkan kepala.

"Dede Vara jangan sedih ya? Mama kamu pasti nanti bangung," ucap Gea mencubit pipi Vara. Bayi itu kembali menggeliat dan sedikit merengek lagi.

"Kok malah dibikin nangis sih, Ge?" Tanya Rangga sedikit kesal Gea. Melihat Rangga yang sudah lebih baik, Gea terkekeh pelan.

"Maaf, Om. Vara lucu banget, kayak aku." Gea memuji Vara sekaligus memuji dirinya sendiri.

Resya tersenyum tipis. Dia bangga dengan Sinta yang memiliki anak begitu hebat. Seperti Gea contohnya. Gadis berumur 12 tahun itu mampu mengubah suasana yang buruk menjadi lebih baik.

"Sebentar lagi, kita pasti bakal kumpul dengan bahagia sama Mama." Rangga berkata lirih sebelum mencium Vara. Dia tak bosan memandang wajah putrinya karena wajah Vara-lah yang membuatnya tenang dan yakin. Wajah anaknya lah yang membuatnya menjadi lebih kuat.

~Bersambung~

Hello everyone😀
Maap ya baru update.
Maklumlah, meskipun lagi gak sekolah tugas aing tuh banyak banget😭
Mana ribet pula😭
Bantu Doa lah biar tugas gak tambah banyak😭

The Mother's Friend (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang