PART II

17 0 0
                                    

[LANJUTAN]

Baru empat langkah aku beranjak dari meja nomor 8 tersebut, terdengar mereka kembali memperdebatkan obrolan yang tadi sempat terhenti. Topiknya lebih panas, melebihi panasnya air meddidih yang ku masak untuk kopi yang mereka pesan. Politik. Tak salah dengar untuk telinga orang berumur menuju kepala tiga sepertiku. Aku masih bisa dengan jelas mendengarkan rekanku ketika dia harus menelepon seseorang dengan nada berbisik. Entah dengan siapa lawan bicaranya di telfon genggam saat itu. Tapi yang jelas itu masalah yang sangat penting hingga harus berbisik.

“Lihat nih, banyak orang menyambut junjungan lo, tapi lo tau? Mereka meneriakkan nama Bapak gua di hadapan junjungan lo. Pasti malu banget tu orang” Sela Cebol seakan dialah pemenang pada perdebatan kali ini.

“Gitu aja ga paham. Pasti orang-orang bayaran kalo itu” Tangkis Kupret singkat.

“Bayaran bayaran. Mulut lo sini gua bayarin. Ga bisa lihat apa didaerah situ kandangnya Bapak gua? Makan dah tu kawanan singa yang ngamuk selagi dia masih ada didaerahnya!”. Kata Cebol sambil berdiri dan mulai naik darah.

Masih ku biarkan perdebatan mereka berdua karna aku yakin mereka masih bisa mengatasinya. Ga mungkin Kakak membunuh Adik kandungnya. Begitupun sebaliknya, Adiknya tak akan tega untuk menghabisi nyawa Kakak sendiri.

Sambil merapikan dokumen-dokumen yang tadi kubawa dari ruang kantor, ku nyalakan sebatang kretek sambil menyanyi lagu “Sebelah Mata” karya Efek Rumah Kaca.

Liriknya menusuk jiwa bagi mereka yang dapat merasakan pesan Cholil Sang Vokalis.

Aku seolah sedang dalam kegelapan, tak berani keluar menemui orang-orang yang menyuarakan masalah-masalah yang menderanya. Hatiku ingin, tapi ragaku tak bisa. Entah energi negatif mana yang sedang menghambatku. Pendidikan, ekonomi, kesehatan. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, suatu hari, akan ku temui mereka dan memperbaiki semuanya.

Masih dari dalam meja eksperimenku lamunanku tehenti saat Cebol dan Kupret sudah pada titik puncaknya.

“Dasar lo ya, kayak tau politik aja lo! Diem aja kalau ga tau berita yang sebenarnya”. Nada Cebol tinggi sambil menunjuk Kupret.

“Gua diberi mulut sama Tuhan fungsinya buat ngomong Bol. Bukan macam mereka yang duduk di kursi dewan yang katanya perwakilan rakyat itu. Punya mulut tapi bisu..” ujar Kupret sedikit menahan emosi.

“Gua lebih tau daripada lo, di kampus, hal-hal beginian jadi mata kuliah wajib gua. Ngerti lo?!” lanjut Kupret dengan menaikkan identitasnya sebagai mahasiswa politik.

Jancok! Bodoh kalian, Rek!

Bodohnya kalian, Arek-arek ku. Kita selama ini terlalu bisu ditempat gelap di kursi ini. Sedangkan diluar masih banyak orang menjerit meminta kita menuju kepada titik terang. Titik kesejahteraan. Tapi kita? Kita terlalu nyaman di titik gelap ini. Aku yang diam sontak merasa tersindir dengan pertengkaran pelanggan ku itu.

Sampai kapan, Rek? Sampai kapan kita akan terus seperti ini? Tidak. Aku akan keluar, meski sendirian. Ku beranikan diri ini walau aku tahu resiko yang akan terjadi. Mereka melempariku dengan botol, sapu, atau batu sekalipun. Lanjut hati kecilku yang mencoba untuk membangun optimisme.

***
.
.
.
LANJUT KE PART 3

KEDAI ASPIRASI (PAHITNYA TAK SEPAHIT POLITIK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang