Crash

127 19 13
                                    

Tak sampai satu jam, mereka kembali menuju mobil untuk melanjutkan perjalanan. Mereka bercanda sambil sesekali mengejek satu sama lain.  Danang yang merasa Liliana menjadi sangat diam sejak awal perjalanan pun mencoba membuka pembicaraan dengan wanita itu.

"Kak An, kenapa diem mulu deh. Sepi nih lo gak komen."

"Gak usah ganggu kakak gue deh lo!" ucap Galih.

"Lo nyamber mulu deh Gal kayak petasan."

"Daripada lo ngomong mulu kayak cewek lagi gosip."

"Eh gue kalo gosip gak kayak Danang ya," ucap Elia lalu menoleh ke Liliana, "Iya gak kak?"

"Hah?" Liliana yang tak tahu apa yang mereka bicarakan pun sedikit bingung.

"Halah dia gak lagi di sini tau. Badannya boleh disini, pikirannya ada di Ello tuh."

"Eh ada yang bawa minyak kayu putih gak? Anjir perut gue kenapa mual banget ya? Kamu gak mandi ya Yang tadi?" tanya Madi tiba-tiba.

"Ya Tuhan sayangku kamu tega banget ngatain aku," ucap Danang seolah dia seorang terdakwa.

"Nih." Liliana mengeluarkan minyak kayu putih lalu memberikannya kepada Maddie.

"Ini masih lama banget ya Yas?" tanya Madi lagi.

"Sekitar dua jam an lagi."

Ia mengangguk sambil mengoleskan minyak kayu putih pada lehernya lalu menghirupnya sedikit. Liliana memperhatikan itu.

"Mad lo kok pucet ya? Lo sakit apa gimana?" tanya Liliana sedikit khawatir kepada teman adiknya itu.

"Gak papa kok kak. Gatau juga tadi tiba-tiba mual banget."

Danang mengambil inisiatif memegang dahi kekasihnya itu.

"Anyep badannya."

"Yaudah Mad, tidur aja. Lumayan masih dua jam."

Madi mengangguk lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Danang, sedangkan lelaki itu mengusap pelan kepala kekasihnya itu agar tertidur lelap.

Sementara itu Liliana masih memperhatikan mereka, sedikit terbesit perasaan iri pada pasangan itu. Hatinya meronta bertanya kenapa Ello tidak bisa memperlakukannya seperti Danang memperlakukan Madi. Liliana seolah bisa melihat jelas bahwa Danang sangat menyayangi kekasihnya itu.

Liliana dengan segera membalikkan pandangannya, ia menunduk menahan air mata yang meronta ingin keluar. Entah kenapa ia menjadi sangat mellow seperti ini.

Tanpa disadari, Diaz melihat wanita itu. Hatinya perih melihat wanita yang disayanginya itu menangis. Tapi apa daya, ia sudah tak ada hak lagi untuk memeluk ataupun melihat wanita itu dengan tatapan cintanya.

Katakan Diaz bucin ia tak peduli, karena memang itu kenyataannya. Ia sangat sayang wanita itu hingga hilang kewarasannya. Lelaki itu tidak tahu bagaimana ia dulu bisa menerima Elia bahkan ketika wanita itu mengetahui bahwa Diaz masih sangat mengharapkan Liliana.

Perjalanan tak begitu terasa hingga akhirnya mereka sampai di vila milik keluarga Diaz di Jogja. Mereka segera turun dan memasuki rumah itu setelah pengurus vila itu membukakan pintu.

"Makasih ya Mas Riyan udah dibersihin vila-nya."

"Sama-sama Mas Diaz. Sudah tugas saya. Ini kuncinya, kalo gitu saya permisi. Kalau ada apa-apa saya ada di rumah belakang."

Diaz mengangguk lalu mengajak semua temannya memasuki rumah tersebut.

"Eh disini cuma ada dua kamar jadi cowok sekamar cewek sekamar gitu aja ya?"

RemembrancesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang