Remembering

103 18 13
                                    

Salah satu hal yang dirindukan Liliana ketika bersama teman-teman Galih adalah ketika mereka semua selalu menganggapnya sebagai salah satu dari mereka. Tidak pernah sekali pun mereka menganggap Liliana pengganggu atau seorang kakak Galih. Mereka selalu melihat Liliana sebagai teman sebayanya.

Ia melamun meneliti semua yang ada di sekitarnya. Galih sedang bergurau dengan Danang. Diaz dan Elia yang sedang bermesraan. Madi yang sedang bergosip ria di telepon dengan temannya. Sedangkan dirinya? Melamun menjadi saksi diatas segalanya.

"Elah kayak lo gak pernah aja. Kak An si Galih pernah kan?"

Mendengar dirinya dipanggil Liliana gelagapan menghadap Danang.

"Hah? Pernah apa?"

"Yeee ngelamun aja terus. Jangan ngelamun atuh kak, si Ello gak bakal dateng juga kalo kakak lamunin."

Galih memukul kepala Danang pelan dan melototkan matanya pada Danang. Hal itu membuat Danang meringis lalu menatap Liliana dengan tatapan bersalah.

"Eh enggak kok. Siapa yang ngelamunin Ello?"

"Ya kalo gak ngelamunin Ello? Masak ngelamunin Diaz?" jawab Danang lagi.

Lelaki itu sepertinya tidak mengerti kode polotan mata Galih. Lagi-lagi Galih memukul kepala Danang. Kali ini sedikit lebih keras.  Ditambah mata Diaz yang juga menatapnya tajam.

"Anjing lo Gal! Lo juga Yas? Keluar tuh mata. "

Liliana kemudian berdiri dan meninggalkan lingkaran api unggun itu. Diaz mengabaikan entah apa yang diucapkan Elia dan memilih menatap kepergian Liliana.

"... yang mereka omongin. Ya gak sayang?"

"Hah?"

"Tadi kak Anna sekarang Diaz. Jangan bilang abis ini lo lagi."

"Lo ngomong sekali lagi pulang aja deh!" bentak Galih.

Lalu lelaki itu berdiri mengikuti kakaknya. Ia melihat kakaknya meringkuk di sofa depan televisi.

"Kenapa kak?"

Liliana segera menghapus air matanya. "Eh gak papa kok. Pengen tidur aja. Gue ke kamar ya,"ucapnya sambil beranjak.

Sebelum pergi, Galih menangkap tangannya. "Gue udah cukup gede buat tau ada sesuatu yang ganggu lo."

Liliana memutar bola matanya malas. "Gausah sok tau deh adik kecil!" ucap Liliana sambil mengacak rabut Galih.

"Gue gak papa. Ke kamar dulu ya?"

"Serah deh serah. Dibaikin malah ditinggal!"

Liliana tertawa sambil berjalan menuju kamarnya. Setelah menutup pintu kamar, ia berdiri bersender di belakang pintu. Ia tak bisa menahannya lagi. Entah kenapa air matanya mengalir. Ia sangat menyayangi lelaki itu. Tapi kenapa semua terasa sangat rumit jika berhubungan dengannya. Ia menyerah.

Akhirnya malam itu Liliana memutuskan untuk tidur lebih awal daripada yang lain.

Pagi harinya mereka memutuskan untuk pergi kesebuah tempat yang bernama air terjun Kedung Pelut.

Suasana disana sangat hijau, air yang mengalir sangat jernih serta pemandangan yang sangat menakjubkan. Ada sebuah jembatan yang terbuat dari bambu yang membuat mereka melihatnya dengan terpana.

"Gila Yas, kok lo bisa tau ada tempat kayak gini sih?" ucap Galih sambil mengamati pemandangan sekitarnya diatas jembatan bambu tersebut.

"Dulu gue sering kesini sama Rayaz."

"Udag lama banget gue gak ketemu Rayaz," ucap Galih sambil memandangi sekitar.

"Ya. Sejak mereka pisah, gue juga belum pernah ketemu lagi.

RemembrancesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang