D U A B A R I S T A
By: Najhaty SharmaMalam ini, kurasakan debaran-debaran yang ambigu. Suara solawatan dari salon bertalu-talu menggema di halaman rumah, menambah gelora suasana hatiku tak menentu.
Hari setelah aku mantap memilih Mei untuk maduku, kami langsung mengutus pengurus pondok untuk silaturrahmi ke rumahnya di pedalaman pegunungan Dieng. Dan orang tua Mei langsung mengiyakan permintaan itu, dan sanggup datang Di Tegalklopo malam ini.
Kini, hajatan itu sudah tinggal selangkah di depan mata.
Tadi maghrib, sempat aku pandangi wajah Mas Ahvas yang rapi dengan kemeja levisnya, sarung BHS, dan peci hitam. Ia tampak begitu machoo sekaligus berwibawa, kemeja Levis itu amat pantas membalut tubuhnya.
Tapi aku menahan komentarku sesaat setelah kesadaran ku menelisik, ia berdandan untuk perempuan lain bukan?.
Ia sempat mencium keningku sebelum aku menghambur di dapur pura-pura turut menghandle acara, berulangkali membesarkan hatiku dengan gombalan-gombalannya.
Beberapa santri tampak iba dan salut luar biasa melihatku berlalu-lalang membawa snack atau sekedar beramah tamah pada tetamu.
Aku menyibukkan diri ngobrol dengan sanak saudara ketika kudengar santri bersorak mengomentari kawannya, karena Kemanten putri sudah selesai dirias. Kemudian, pihak lelaki dikode untuk segera bersiap-siap.
Sebelum duduk di kursi depan, teman-temannya mengantarkan Maysaroh untuk sungkem dengan ku, ia dirias mengenakan kerudung pink dan tiara kecil di atasnya. Ia begitu mangklingi. Make up lembut di wajahnya mampu menyalakan kecantikan yang terpendam selama ini. Aku terhuyung ke kamar mandi. Terhenyak menyaksikan riasannya.
Ketika kudengar khotbah nikah di mulai, dan detik demi detik mengantarkan pada dunia dimana Mas Ahvas melafazkan ijab kabul dan semua orang menggema, sah ?? Sah? Saahhhhh... Aku memejamkan mata. Menyandarkan tubuhku ke tembok kamar mandi. Meremas-remas tanganku sendiri.
Itu pertanda dimana suamiku resmi menjadi suami Mbak Mei. Pertanda bahwa mulai detik ini, malam ini, aku harus rela berbagi dan memberikan otoritas sepenuhnya pada wanita lain melakukan apa saja yang dia inginkan untuk belahan jiwaku. Aku harus berbesar hati melegalkan segala macam bentuk yang mungkin akan menyakiti dan membuatku cemburu. Aku harus siap menahan gejolak hati tiap kali suamiku berdua dengan istri keduanya, Mbak Maysaroh, salah satu khodimah mertua yang pernah mengabdi di dapur.
******
Malam usai pernikahan, aku begitu lemas dan lunglai. Dituntun khodimahku Asih, Segera pulang dan kurebahkan tubuhku ke ranjang, kumejamkan mata di balik selimut. Menyumpal telingaku dengan kerudung. Merasakan degup jantungku sendiri yang tak beraturan. Hingga lambat laun tak kudengarkan lagi.
Saat aku terbangun di tengah malam, ramainya tamu-tamu, suara dentuman solawatan dan singgasana sederhana dari gabus untuk khitobahan itu telah menghilang dalam sekejap. Hanya rembulan malam mengintipku dari balik pepohonan.
Tidak ada Mas Ahvas Disini, aku justru dikagetkan dengan ibu mertua yang tertidur pulas di Shofa depan kamarku.
Ia pasti menungguiku menggantikan tugas Mas Ahvas.
Sementara Mas Ahvas? Aku pasti bodoh jika bertanya dia dimana. Bukan kah dia penganten baru? Dia sedang bersama istrinya di rumah mungil dekat butik, rumah milik Umik yang diselenggarakan untuk dirinya.
Aku menghambur di ranjang, membenamkan resah gulanaku ke disana.
Suara jangkrik dan kodok serasa begitu keras mengganggu malamku. Biasanya, suara itu tak akan senyaring ini jika di sisiku ada Mas Ahvas. Suara degub jantungnya kala memelukku mengalahkan suara-suara lain yang pernah ada.Malam menjadi begitu dingin menusuk tulang meski bertumpuk-tumpuk selimut telah ku balutkan ke seluruh tubuh. Suara detak jarum jam dinding di atas pintu serasa menyiksa. Waktu bergulir begitu lama.
Baru kusadari pekatnya malam begitu kosong, hening, sunyi. Selama ini malam malamku adalah ketenangan jiwa mereguk surgawi di dekat raganya.
Jika saja hatiku seluas langit, mungkin masalah-masalah itu hanya bagaikan bintang kecil yang tidak mampu menyesakkan cakrawala hatiku.
Jika hatiku seperti karang, mungkin seberapa sering ombak-ombak itu menerjang, tidak akan pernah sedikit pun melelehkan jiwaku.
Tapi sayang, hatiku adalah kapal yang berlayar di tengah lautan. Kini, tajamnya badai menerpa mengombang ambingkan seluruh jiwa ragaku, memporak porandakan daya kuasaku.
Dalam ketakutan, Ku himpun kekuatan. Agar
tidak akan pernah tenggelam di dasar lautan.
****Empat hari setelah pernikahan itu, aku terpaksa belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian rupa untuk kami berdua karena bagaimanapun, Mei telah sah menjadi istrinya. Aku terhenyak, menyadari Siapa pun dia dimasa lalu kini tidaklah penting, Dia memiliki hak yang sama atas hak-hak seorang istri.
Sepertinya baru bulan kemaren aku menemukan dia sibuk melipat gamis jualanku di butik. Dan kini dia sudah bergeser meninggali rumah di sebelahnya.
Mas Ahvas berpesan, aku harus banyak istirahat, aku tidak boleh pingsan lagi seperti malam pernikahan itu, aku tidak boleh kemana-mana. Tapi aku tak mengindahkan ucapannya. Aku justru jalan-jalan ke butik, dan kemudian memutuskan untuk mengucapkan salam di depan pintu rumah Maysaroh.
Pintu berderit terbuka. Maysaroh menunduk mempersilahkanku. "Waalaykum salaam.... Monggo Ning... Pinarak" Ia menyalami ku persis seperti sebelum pernikahan terjadi. Mencium tanganku lengkap dengan gestur menunduk sopan. Dan wajah yang tak berani mendongak menatapku.
Teras rumah ini tampak begitu mengkilap usai di bersihkan. Biasanya debu-debu hinggap memenuhi muka rumah ini. Sehingga aku baru sadar ternyata rumah ini cukup bagus.
Ketika masuk di pintu utama, aku pun langsung di kagetkan dengan tata letak furnitur yang sedikit bergeser, mengkilapnya lantai marmer, dan keset nya jendela- jendela kaca rumah ini.
"Siapa yang mbersihin ini Mei? Kang-kang?"
"Mboten Niing... Saya sendiri"
"Ooo... "
Belum lagi ketika aku masuk dalam kamar nya, menemukan spring bed usang itu berlapiskan bed cover baru masih bau pabrik, licin begitu rapi dengan bayfresh yang menusuk hidung, menyamankan penghuni kamar ini, membuatku langsung melengos. Tak Sudi aku lama-lama di sebuah ruangan dimana suamiku mereguk lautan asmara dengan perempuan lain.
Datang ke rumah Maysaroh secepat ini saja sebenarnya adalah keputusan beresiko tinggi. Bodohnya aku kenapa membuka-buka kamarnya.
Lalu aku melongok ke ruang makan dan dapur, di atas meja itu sudah terhidangkan lauk pauk dan sayur lodeh, lengkap dengan sambal terasi. Nasi panas masih mengepul di dalam cething.
Sementara Pawon kecil di ujung ruangan telah bersih dan rapi, tidak kalah licin dengan ruangan ruangan lain.
"Siapa yang sudah memasak ini Mei?"
"Saya sendiri niing..."
Aku tahu, lodeh dan sambal terasi adalah salah satu kesukaan Mas Ahvas. sudah barang tentu perempuan itu tahu betul apa saja yang disukai suamiku, karena jauh sebelum khidmah di butik, ia termasuk salah satu koki andalan bagi keluarga kami.
"Kamu masak dari jam berapa?" Aku menyelidik,
"Sebelum subuh Ning. Karena Gus Ahvas harus madrasah pagi-pagi"
"Jadi dia sudah sarapan? "
"Enjeeh niing... "
Aku juga menemukan toples berisikan kopi dan gula dan satu cangkir kotor sisa kopi.
Perempuan itu dulu sering melihatku membuatkan kopi untuk suamiku. Dan kini dia mempraktekannya sendiri. Dia juga ingin menjadi barista.
Ya allah!
Ku lihat air mukaku begitu masam di dalam cermin yang bertengger di dekat meja makan.
To be continued..
📢 Post Script! : Part di privasi acak..jadi jangan lupa follow sebelum baca part selanjutnya yah..
![](https://img.wattpad.com/cover/219031999-288-k306116.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARISTA [Real from the author] ✔
Romance"jika hatimu semurni espresso, tidak ada dendam serupa ampas, ketika secangkir kepahitan itu telah tandas" DUA BARISTA [By:Najhaty Sharma] ini adalah karya kakak saya, Setelah bukunya terbit tanpa melupakan para penikmat novel gratis. Maka link ini...