Tangan itu bergerak cekat di antara banyaknya pelanggan. Ningsih belum sempat duduk sedari siang. Mondar-mandir dari depan ke belakang —begitu seterusnya. Tidak peduli kakinya yang sudah keras kebas, atau jemarinya yang habis terkena minyak panas.
Gadis berusia lima belas tahun itu sudah berkumun di dalam dapur sedari pagi. Begini selalu setiap hari.
Melelahkan sekali. Tapi Ningsih tidak pernah mengeluh. Anak itu tidak pernah menyesal. Sudah kewajibannya sebagai anak tertua, kan?
"Ning, ada yang nyari kau!" Panggilan itu diteriakkan dari meja kasir depan. Dengan begitu Ningsih segera menyusul keluar.
"Iya, Yuk?"
Wanita paruh baya yang memanggil tadi memberi gesture menunjuk menggunakan dagunya. Mengarahkan pandangan Ningsih pada dua orang familiar yang kini tengah berdiri di depan warung. Itu Om Heri dan istrinya. Adik Bapak dari Medan.
Om Heri dan Tante Yana itu bukanlah orang jahat walau Ningsih sejujurnya tidak suka mereka. Tapi firasatnya bilang, kedatangan mereka akan membawa satu perubahan nantinya.
"Ning, boleh ajak ketemu Bapak dan Mamak?"
***
Suti diam. Meremat jari-jari tuanya yang sudah habis tergores sebab seharian kerja dari rumah ke rumah. Sedang sang suami, Wawan, menunduk dalam di sebelahnya. Mata-mata rabun itu menerawang jauh. Mempertimbangkan banyak hal yang kelak bisa saja terjadi.
"Jadi gimana, Bang?" Heri menuntut jawaban. "Kau tau aku dari Medan ke sini jauh-jauh. Pertimbangkanlah baik-baik."
"Sampai kapan?"
"Kami di sini paling dua atau tiga hari lah ya. Dak usah repot siapkan kamar, kami cari penginapan di tempat lain. Yang penting kelen bujuk dulu si Kale. Cemana?"
"Bukan." Wawan mematikan puntung rokoknya. Batang bekas itu kemudian dia taruh di atas asbak kecil. "Sampai kapan Kale di sana?"
"Oh? Hahaha." Heri tergelak setengah ikhlas. Perawakannya yang mirip sekali dengan sang kakak, membuat Suti sempat tertegun. Dia seperti melihat Wawan dengan versi sedikit lebih arogan.
"Masalah itu pulak yang kau pikir sekarang. Sampai kapan aja bisa aku sekolahkan anak itu. Aku tau betul kalian pasti susah, dan aku bisa bantu. Kasihan si Kale kalau ikut putus sekolah macam Ningsih karna Bapak dan Mamaknya miskin."
Meremat buku jari sendiri, Suti ingin sekali protes saat mendengarnya. Harga diri wanita itu terasa tercoreng di depan adik iparnya sendiri –walau yang dikatakan Heri tidaklah salah. Begitupun dengan Ningsih. Gadis kecil yang dari tadi duduk di sisi lain itu ingin sekali marah-marah tidak terima. Tapi dia ingat, dulu Bapak sekali pernah bilang, Jadi orang miskin itu tidak boleh mudah tersinggung.
Tapi bukankah rumit sekali? Mereka jadi serba salah hanya karena mereka punya label miskin.
Hanya hening yang menjadi jawaban. Tidak ada yang mampu menjawab setuju begitu saja, pun menolaknya. Suti dan Wawan sama-sama bungkam dibuat pikiran masing-masing.
"Ini kan demi Kale juga, Bang." Yana menyahut di sela sepi.
Demi Kale, ya?
***
Tidak banyak yang tahu, tapi, meski sudah berusia tiga belas tahun, Kale itu belum juga sanggup makan makanan pedas. Kalau kata Yuk Ningsih, cemen.
Begitu pula yang terjadi dengan sekarang.
Belakangan ini, kantin sekolah sedang ramai-ramainya karena di sana ada makanan baru. Semacam makaroni basah yang sudah direbus kemudian diberi bumbu-bumbuan yang bermacam varian. Kale belum pernah coba sih awalnya, tapi kata teman-temannya itu enak sekali.
Tadi, sewaktu istirahat, Kale sempat ingin membeli. Tapi rupanya keburu habis, jadilah anak itu memilih untuk jajan makanan lain. Namun sekarang, saat jam pulang tiba, Salman datang-datang sudah mengantongi plastik bening kecil makaroni dengan dua rasa. Keduanya sama-sama merah. Katanya itu rasa balado dan bbq. Agak menyesal karena sudah menghabiskan uang saku yang jumlahnya tiga ribu itu. Tapi baiknya, Salman malah menawarkan dan mengizinkan Kale mengambil satu.
Namun sial, makaroni itu rupanya pedas sekali —menurut Kale.
Anak itu awalnya merasa mampu menahan pedas. Terlebih dia makan di depan Salman. Bisa habis dia diolok-olok kalau temannya itu tahu Kale tidak bisa makan pedas. Walau begitu, Salman agaknya tetap sadar juga. Si Kale ini bodoh kalau dia jawab tidak pedas padahal biji keringat di jidatnya sudah sebesar biji jagung siap dipanen begitu.
Salman sempat bertanya, "Kenapa kau?"
Tapi langsung dijawab Kale dengan gaya sok kelewat santai.
"Dak enak. Lidahku lidah orang miskin mungkin."
Lalu, setelah berpisah di gerbang sekolah dan memastikan Salman sudah mengayuh jauh sepedanya, Kale menggeliat kacau kepedasan. Lidahnya dikeluarkan, kepalanya bergoyang-goyang dengan tubuh yang menyerupai jeli sempoyongan. Seperti sedang melakukan tarian pemanggil hujan.
Anak itu belari kencang tanpa lupa mengeluarkan lidahnya barang sesenti pun. Setidaknya biarkan angin menyeka rasa-rasa pedas yang tertinggal itu walau bentukan tubuhnya sudah seperti anjing kampung kena rabies.
Tidak boleh menangis. Tidak boleh menangis.
Adalah kalimat yang dia rapalkan sepanjang jalan. Ingin cepat-cepat pulang agar bisa minum air dingin milik Yuk ningsih, yang kalau diminum, Kakaknya itu bisa mendumel panjang seperti kereta api.
Namun, saat sampai di depan pintu rumah, Kale mendapati banyak sendal di sana. Tidak banyak juga. Hanya sendal Mamak, Bapak, Ayuk, sendalnya, dan dua sendal asing. Bagus sekali. Sudah pasti bukan sendal tetangga-tetangga mereka.
Kira-kira siapa ya? Kale menimbang-nimbang. Penagih hutang Bapak? Rentenir kah? Tapi sepertinya tidak juga. Bapak itu jarang sekali berhutang. Katanya lebih baik kerja habis-habisan banting tulang, ketimbang mengemis bantuan semacam berhutang.
"Ini kan demi Kale juga, Bang." Suara itu terdengar dari luar saat Kale membuka sepatu. Tidak asing, tapi dia tidak pula bisa memastikan siapa sebab dari luar tidak kelihatan. Ntah karena di luar panas sehingga pandangan anak itu silau, atau suara itu berasal dari pintu samping rumah, atau mungkin keduanya. Kale tidak tahu. Dia hanya memilih melangkah masuk ke dalam sembari mengucapkan salam.
Dan benar saja. Semua berkumpul di depan pintu samping. Bocah itu sempat heran kenapa jam segini semua malah berkumpul dan tidak pergi kerja?
Bapak menghela napas berat di sana.
"Biar kubujuk. Kalian bawa saja Kale itu pergi kalau begitu."
Jantungnya berdentum kencang memikirkan maksud Bapak. Langkah Kale beehenti dengan tatapan kosong menewarang.
Kenapa?
Apa Bapak tengah sebutuh itu dengan uang sampai menjual Kale?
Anak itu berusaha menduga.
Ah iya, kepedasan.
Kenapa pedas sekali ya?
Bukan lidahnya.
Kali ini matanya.[][][]
*Cemana : gimana
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap Harap
RandomTubuh Kale itu kecil. Yang besar cuma asa nya saja. cover by. pinterest