"HADUHH, GARAM HABIS. PERGI MINTA KE CIK LEHA DIKIT, NING." Suara itu melengking dari dapur, disusul denting piring gelas yang sedang tangan itu cuci. Mendengarnya, seorang gadis berusia lima belas tahun keluar dari kamar.
Dia Ningsih.
"Iya, Mak. Bentar!" sahutnya sebelum segera melesat keluar rumah dengan bertelanjang kaki. Kata Ningsih, sendalnya siang tadi hilang sebelah dibawa angsa Pak Rahmat lari.
"Le, bilangin Bapakmu, token listrik dah bunyi!" Suti berjalan ke depan dengan sebuah kain lap meja dalam genggam. Wanita itu menepuk pelan punggung si bungsu sebelum kembali sibuk ke dapur.
Yang paling muda mengangguk kemudian membawa tubuhnya berdiri. Rumahnya pagi ini heboh sekali, Kale jadi tidak fokus bermain kelomang di teras samping.
Anak itu merajut langkah ke depan dan berjalan memutar ke belakang. Di rumah ini, tidak ada akses ke belakang selain dari pintu depan. Sebab, pintu samping itu bersebelahan dengan sumur kering yang airnya mengalir cuma sebulan sekali.
Langkah sendalnya terseok-seok di antara tanah liat yang mulai mengering. Anak itu sempat berpapasan dengan Ningsih yang baru pulang dari rumah Cik Leha dengan sejumput garam di dalam mangkok kecil. Matanya menyisir jalan setapak itu hati-hati —banyak sekali tai. Kalau pagi begini, Bapak pasti sedang sibuk memberi makan ayam di belakang atau memapas bambu untuk dijadiin lidi.
"Pak, token listrik dah bunyi."
Pria gempal dengan sarung coklat serta singlet putih itu menoleh. "Sebentar lagi kubayar," katanya menyahut. Kale mengangguk, tapi dia tidak pula memilih pergi.
Anak itu menekuk jari kakinya takut-takut. Ingin jujur satu hal, tapi takut Bapak tidak menyanggupi.
"Kenapa pula kau?"
"Anu, Pak."
Wawan menautkan alisnnya tak mengerti. Apa pulak mau anak ini?
Tapi Kale tidak terlihat ingin menjawab, jadilah pria itu lanjut memotong-motong bambu di hadapannya. Mengabaikan putra bungsunya yang tidak jelas apa maunya.
"Pak," panggilnya sekali lagi. "Itu,"
"Apa Le?"
"Anu—"
"Ana anu, ana anu, anumu kusunat sekali lagi mau?"
"IDAK!" Bocah itu menjawab cepat. Tangannya dia bawa menangkupi selangkangannya yang dirasa mulai terancam. Bapak sedang memegang sebuah parang; itu bahaya. Bisa-bisa setelah ini burungnya yang hilang.
Kale menunduk. Tidak berani menatap mata Bapak. Padahal, andai mereka kaya raya, bocah tersebut pasti tidak akan setakut ini.
Menggigit bibirnya sebentar, ia bergumam.
"Itu, guruku sudah suruh bayar spp lagi, Pak."Wawan berhenti dari kegiatannya. Keduanya diam sesaat sebelum kaki yang lebih tua dibawa tegak berdiri. Parang dalam genggaman tidak dilepaskan, Kale hampir pipis di celana dibuatnya.
'Habis mati aku,' batinnya.
Benda yang terbuat dari besi itu terbanting nyaring. Tergeletak miris di atas semen murahan yang sudah banyak retak dimakan waktu.
"Itu aja? Kenapa gak kau bilang dari tadi?"
***
Kale benci sekali jika ada orang yang bilang, 'Uang itu tidak menjamin kebahagiaan.'
Anak setan. Kalau begitu, berikan saja uangnya pada Kale, biar dia tunjukan bagaimana cara berbahagia dengan uang. Uang tidak menjamin kebahagiaan, tapi kebahagiaan itu 'kan bisa dibeli dengan uang.
Bocah SMP tersebut sore ini tengah melamun di tepi dermaga. Memandangi kapal-kapal yang bergantian hilang dan datang. Matanya menelanjangi langit yang mulai dihisap malam. Kale sedang berdoa pada Tuhan, barangkali kapal-kapal lumutan itu dengan ajaib melempar koper-koper berisi harta karun atau lembaran rupiah.
Bapak pernah bilang, jadi orang miskin itu pilihannya cuma menangis atau menangis. Menangis bersyukur karena hisab akhiratnya tidak banyak, atau menangis sebab kelaparan karena tidak ada uang. Tapi kalau boleh memilih, Kale sih maunya jadi orang kaya. Foya-foya menghamburkan duit, main, belanja, lalu beribadah dan tobat biar masuk surga. Tapi sayangnya hidup itu soal menjalankan, bukan memilih garis awalan.
Anak berusia tiga belas tahun itu menghela napas berat. Kata Mamak, persoalan mencari nafkah itu urusan Mamak dan Bapak. Kale dan Ningsih hanya perlu belajar. Tapi bohong tuh. Setelah kalimat itu Mamak ucapkan tahun lalu, bulan depannya Yuk Ningsih terpaksa berhenti sekolah dan harus bekerja. Padahal dia perempuan, bukan laki-laki seperti Kale. Anak itu jadi curiga dia bisa saja berhenti sekolah bulan depan, atau depannya lagi.
Kalau begitu, berarti Kale harus mulai berpikir akan bekerja jadi apa, kan? Dia baru kelas satu SMP, bakatnya tidak ada selain mencari ikan cupang atau bermain adu kelomang.
Kalau boleh jujur, dulu Kale pernah berniat menjadi pencopet. Tinggal ke pasar saja, ambil dompet orang diam-diam, lalu kabur deh. Tapi mengingat Bapak yang galaknya bukan main mengalahkan mamak-mamak saat kumpul masak-masak acara kampung, bocah itu jadi bergidik sendiri.
Suatu hari Bapak pernah menasehatinya begini. Katanya,
"Jangan banyak betingkah Le, kita orang miskin."
Lalu Kale bertanya, "Kalau sudah kaya, boleh, Pak?"
Tapi saat itu Bapak malah memukul pantatnya. Bapak bilang, "Ya jangan! Ngapain pula kau kalau kaya masih pakai betingkah."
Jadilah Kale simpulkan bahwa, pokoknya hidup itu tidak perlu banyak tingkah.
Membuyarkan lamunan, anak itu menghela napas kuat.
Tidak terasa, langit semakin gelap menjemput malam. Ini tandanya, Kale harus pulang sebelum pahanya kena sabet ikat pinggang. Lagipula, besok itu hari senin.
Kaki kurus itu beranjak pergi. Berjalan melewati pasar yang tidak pula kunjung sepi. Bibirnya bersenandung kecil —menyanyikan lagu yang ntah apa —yang baru dia dengar dari salah satu toko kaset. Mata anak itu jelalatan memandangi sekitar, berandai-andai kenapa orang bisa kaya raya. Kenapa tukang kaset walau banyak pembeli, kasetnya seperti tidak habis-habis. Atau bagaimana cara orang membangun jembatan Ampera ini agar kokoh besar berdiri.
Dengar-dengar, uang pembangunan jembatan itu besar bukan main. Kale jadi mulai berpikir, berapa gaji yang tukang-tukang itu dapatkan?
Kale mau jadi orang kaya. Apa dia jadi kuli saja ya nanti?
Petang itu, Kale sibuk sendiri dengan imajinasi.
[][][]
*Idak : Tidak/enggak
**Yuk/Ayuk : Kak/Kakak
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirap Harap
DiversosTubuh Kale itu kecil. Yang besar cuma asa nya saja. cover by. pinterest