05 : Katanya, Ini Demi Kale

77 46 3
                                    

Di luar dugaan, Heri dan istrinya sudah terhitung empat hari mengunjungi kota sungai Musi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di luar dugaan, Heri dan istrinya sudah terhitung empat hari mengunjungi kota sungai Musi ini. Kedua orang itu tanpa absen setiap hari mengunjungi rumah Wawan, bertanya sekaligus membujuk Kale untuk diajak tinggal bersama. Benar-benar terlihat seserius itu untuk mengajak si bungsu terlepas apapun alasan mereka.

Sebenarnya sangat merepotkan dan menghabiskan banyak uang, Yana sadar itu. Tapi di sisi lain dia tahu sang suami kekeh membawa Kale bersama mereka nanti. Namun sayangnya, tidak ada lampu hijau yang mereka dapatkan dari anak itu langsung.

Setelah pembahasan panjang, Heri memutuskan untuk meninggalkan Palembang dan kembali ke Medan. Bukan karena pria itu menyerah. Tentu saja tidak. Heri akan menggunakan cara terakhir kali ini.

Jadi, pagi-pagi sekali. Sebuah tas yang berisi penuh pakaian Kale diselundupkan diam-diam ke dalam mobil Heri. Mereka akan berangkat berempat; Heri, Yana, Wawan, dan Kale. Ikut ke Medan dengan alasan, melihat kota itu. Katakanlah ini liburan semingguan lebih. Kalau Kale tidak suka, minggu depan mereka akan pulang lagi.

Kale awalnya ragu, terlebih dia mendapati Mamak dan Ayuk yang matanya bengkak sembab. Tapi Mamak bilang beliau sedih karena tidak pernah berpisah dengan Kale barang sehari. Apalagi ini seminggu lebih.

"Mamak cuma khawatir Kale kenapa-napa."

Lalu anak itu menjawab lugu. Kale bilang,
"Aman. Kale ini laki-laki, sudah bisa jaga diri, Mak."

Dan Kale tidak menaruh curiga lagi setelahnya.

Perjalanan dihabiskan selama dua hari ditemani perasaan cemas tak karuan. Kale itu jarang naik mobil. Bukannya sudah terbiasa juga, jadilah dia habis dibuat mabuk. Muntah berkali-kali hingga Wawan meminta maaf berulang.

Baru satu hari, tapi Kale sudah rindu rumah tak karuan. Dia rindu main di sekolah atau berjalan melewati rumah Mera. Hingga titik di mana anak itu sudah pusing tak tertolong lagi, jadi dia memilih untuk memejamkan matanya dan tertidur. Bangun kalau Bapak suruh sholat atau makan saat mereka berhenti saja.

Pukul sebelas malam, mereka memasuki kota kelahiran Bapak dengan selamat. Roda-roda mobil Om Heri bergulir mengantarkan mereka sampai ke rumah. Ke tempat di mana Kale belum pernah merasakannya.

Rumah pamannya itu besar sekali. Di sana ada dua mobil dengan merk berbeda, terparkir apik dalam bangunan yang mereka sebut garasi. Rumahnya bersih apik dengan lampu-lampu oranye yang dipasang mengelilingi bangunan. Jauh dari bentukan rumah Kale yang sudah berdempet-dempet bersama rumah tetangga. Jangan lupakan dinding cat mereka yang sudah mengelupas di sana sini. Paling bagus cuma rumah dengan warna hijau miskin di sana.

Kale takjub bukan main. Sampai-sampai tak sadar saat pintu rumah sudah dibuka dari dalam.
Anak itu berjalan menunduk takut saat melewati dua orang penghuni rumah lainnya.

"Ini Abi dan Fera. Masih ingat 'kan kau, Le?" Om Heri mengenalkan. Seorang remaja seusianya dan seorang bocah kecil perempuan kisaran kelas empat sekolah dasar. Kale ingat. Pernah berjumpa dulu sekali sewaktu kecil. Kale dan Abi ini seumuran, beda beberapa bulan. Dulu Abi itu badannya kurus kecil lagi pendek. Pernah menangis sebab dia olok-olok karena tidak bisa turun dari pohon saat Kale mengajak anak itu memanjat. Kemudian berakhir dia yang habis-habisan dimarahi.

Hirap HarapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang