Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kalau Mamak bilang, dia takut kau kenapa-napa, Bapak malah jauh lebih takut kalau kau dak jadi apa-apa, Le."
Itu yang Bapak bilang tadi sewaktu di telepon. Tapi Kale tidak mau menjawab. Kale tak lagi mau berbicara pada Bapak. Anak itu hanya menangis meraung-raung di teras rumah dan duduk di depan gerbang. Menangis menatapi ujung jalan komplek berharap Bapak hanya bercanda, berharap Bapak kembali datang dan membawanya pulang bersama.
Heri dan Yana sudah lelah sekali membujuk. Abi juga tidak berhasil membantu. Anak itu hanya menangis terus-terusan sampai yang tersisa hanya senggukan patah-patah dengan wajah yang luar biasa basah.
Om Heri bilang, dia akan tinggal dan bersekolah di sini, dan Kale seharusnya bersyukur atas itu semua.
Tapi, apa-apaan?
Kenapa harus memaksa saat Kale menolak. Kenapa harus ditipu saat anak itu tidak mau.
Kale takut sekali.
Sampai menjelang malam, Kale tak kunjung mau masuk ke dalam. Air matanya belum juga berhenti keluar walau kedua netra itu lelah bukan main. Beberapa tetangga yang lewat sempat bertanya, tapi Kale tetap bungkam suara.
Kemudian, di saat langit benar-benar total menggelap, tubuhnya limbung sebelum melayang. Kale digendong masuk oleh Heri ketika hari sudah malam.
Anak itu tidak lagi meraung-raung, atau mungkin tidak sanggup lagi meraung-raung.
Kale duduk bersama di meja makan. Hanya tinggal beberapa potong lauk di sana tanda semua sudah selesai. Dia cukup bersyukur karena masih disisakan lauk dan nasi untuk makan, tapi Kale tidak berselera lagi.
"Bapak, mau Bapak..." Anak kecil itu menggumam pedih. Disaksisan Heri di ujung sekat pembatas ruang makan dan ruang tengah. Kale menoleh, matanya menatap sendu dan memohon.
"Om, telepon Bapak, Om." Bocah itu meminta.
Sedang yang paling tua hanya mendesau pasrah. Kakinya melangkah ke arah Kale dan mendial nomor Wawan sekali lagi. Dia tahu Kale akan meminta Wawan menjemputnya kembali. Dia tahu Kale berharap banyak untuk telepon kali ini.
Sebelum gawai itu diserahkan, Heri menunduk pelan dan berbisik,
"Bapakmu dak ada duit nyekolahin kau lagi, Le. Dan aku ngebantu ini namanya. Kau pulang, putus sekolahmu."
Anak itu tercekat saat sebuah dering tanda telepon tersambung berbunyi. Sayup-sayup, suara Wawan menyahut di seberang sana.
"Assalamualaikum, halo?"
Bohong bila Kale tidak gemetar mendengar suara Bapak lagi. Bohong bila dia tidak sedih. Namun, netranya yang beradu pandang pada milik Heri berhasil memutar ulang kalimat yang diucapkan pria itu dalam benak Khalean.
Dia menelan ludah,
"Pak... Kangen. Sudah makan?"
Kale gemetaran.
***
Wawan tidak tahu, apakah di saat seperti ini, masih patut dia untuk menyesal?
Katakanlah pria tambun itu adalah seorang Bapak paling galak sedunia; menurut Kale. Bapak paling garang yang senang sekali menyabet pakai ikat pinggang. Bapak yang paling keras mendidik anaknya ketimbang mengurusi lemak-lemak yang berkumpul pada perutnya.
Apa saja.
Tapi tidak bohong kalau Wawan menyayangi Kale dengan sangat.
Dia menyayangi kedua anaknya yang jumlahnya ada dua.
Wawan menginginkan segala yang terbaik sekalipun yang dipertaruhkan itu harga dirinya.
Tidak bohong juga kalau pria itu tadi menangis pula saat Kale meneleponnya pertama kali. Rasanya seperti menjadi orang jahat saat meninggalkan putranya diam-diam —saat Kale menelepon dengan senggukan parah namun tak mau bicara. Semua terasa menyakintkan ketika mengingat dia akan meninggalkan Kale bukan untuk waktu sebentar.
Dulu, dulu sekali. Dia pernah menangis diam-diam saat terpaksa menyuruh Ningsih berhenti sekolah. Menangis lagi saat tahu putrinya ikut mencari kerja.
Tidak ada yang tahu jika Wawan juga menangis sendiri. Tidak ada yang tahu kalau Wawan rupanya hanyalah seorang ayah yang lembut hati.
Dan lagi-lagi, ia harus dihadapkan pada kondisi yang hampir sama. Heri datang saat Kale terancam putus sekolah.
Tubuh gempal berbalut kulit yang mulai mengeriput itu bergetar di kursinya. Wawan sudah menangis berjam-jam lamanya. Mata sayu yang makin hari makin rabun itu menatap handphone jadul miliknya penuh harap. Tas diapit kuat di depan dada yang tidak selesai-selesai berdoa.
Kalau,
Kalau Kale menelepon sekali lagi dan menangis minta pulang, Wawan sepertinya tidak lagi bisa menahan diri untuk kembali dan menjemput anaknya itu. Berpikir lebih baik semua anggota keluarganya berkumpul bersama walau tidak ada jaminan Kale akan tetap sekolah. Lebih baik tidak ada satupun yang terpisah walau Wawan harus tetap membanting tulang hingga tubuhnya patah.
Heri tidaklah jahat. Tapi firasatnya tidak pula terasa akan jadi sesuatu yang baik.
Doa-doa kecil terjalin panjang dalam hati. Detik kemudian, sebuah senyuman kecil terbit saat benda kecil dalam genggamnya berbunyi nyaring lagu pop 90'an dengan nama A. Heri yang tertera di sana.
Wawan gemetar menekan tombol untuk mengangkatnya. Handphone yang sudah terkelupas di bagian ujung sisinya itu ditempelkan pada telinga. Harap-harap cemas menunggu Kale bersuara. Wawan tersenyum sendiri sebelum salam dia utarakan sebagai sapa.