02 : Kale Jatuh Hati

159 54 9
                                        

"Atas nama Khalean Ashad?"Kale mengangguk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Atas nama Khalean Ashad?"
Kale mengangguk.

"Berarti untuk semester ini lunas, ya." Sebuah stampel mengecap lembaran kertas. Kemudian wanita yang berstatus sebagai pegawai TU itu menyerahkan kertas bukti pada Kale sebelum turut mengangguk kecil. "Kamu boleh balik ke kelas."

Setelahnya Kale beranjak pergi, berjalan jauh dari ruang TU. Kakinya berbelok ke kiri, ke arah kantin dan bukan ruang lokal. Siapa bilang dia mau kembali ke kelas?

Sebenarnya sih tidak tahu mau apa, dia juga tidak punya uang. Kale hanya malas belajar hari ini.

"Woi, Wawan."

Sebuah suara terdengar memanggil dari meja paling pojok. Itu Salman, teman sekelasnya yang ternyata bolos juga. Yang merasa terpanggil menghampiri. "Namek, Darto?"

Salman tergelak. Bocah itu kemudian bergeser, mempersilahkan Kale agar duduk di sebelahnya.
"Bolos kau njing."

Satu geplakan mendarat pada bahu. "Ngaca kau njing." Kemudian mereka kembali tergelak.

"Halah, dak seru nian Bu Haji ngajar."

Kale mengangguk. Bu Haji itu guru bahasa indonesia mereka. Kale tidak tahu nama asli Bu Haji siapa —wanita tua itu dipanggil Bu Haji sebab sudah berhaji, dengar-dengar sudah dua kali. Yang anak itu tahu, Bu Haji itu kalau mengajar galaknya minta ampun. Masa' mistar kayu besar milik guru matematika yang biasa tegantung nganggur di samping papan tulis, selalu dipakai Bu Haji untuk geplak-menggeplak. Biasanya benda panjang itu diayun-ayunkan di tengah kelas, yang banyak gerak akan kena geplak. Kale pernah kena, sekali.

Kedua bocah SMP itu berpandangan sejenak. Matanya beradu seolah menjelaskan apa yang dipikirkan masing-masing adalah sama. Setelah itu, mereka berdua berseru kompak,

"Gas kabur?"

***

Percaya tidak percaya, batang lidi kecil lagi tipis yang Bapak buat itu bisa menegakkan sebuah rumah. Don't judge book by the cover kalau kata orang, mah.

Potongan-potongan bambu itu biasa Bapak jual ke pasar, kemudian uang hasilnya dijadikan modal bernapas sehari-hari. Sebenarnya Mamak dan Yuk Ningsih juga bekerja. Mereka kerja di rumah orang-orang kaya sebagai buruh cuci atau sekedar nyapu dan bersih-bersih. Tapi itu kan tidak melulu setiap hari, tergantung panggilan saja. Sedang lidi Bapak itu setiap hari, makanya jadi penghasilan utama.

Seperti hari ini, Kale yakin seribu persen kalau Bapak ada di pasar dan tengah berjualan. Makanya anak itu ketar-ketir bukan main saat Salman malah mengajakkan bolos melewati pasar.

Dia takut bertemu Bapak.

"Namek gawe, anjing." Anak itu mengumpat —lagi.

Salman acuh, tidak peduli bila Kale mau marah-marah sepuluh kali.
"Aku nak beli yoyo," jawabnya santai.

Hirap HarapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang