"Ish!" Abrit bergidik ngeri saat membaca fakta bahwa komodo akan meninggalkan korban yang lebih besar dan kembali lagi beberapa jam kemudian saat korbannya melemah.
"Brit, lo nggak mau apa jelasin ke Alvary soal gimana hidup lo? Kalian itu hebat, sama-sama pinternya. Sayangnya, musuhan. Padahal kalau akur pasti fantastis banget," kata Lanang sambil menghampiri Abrit di teras mes.
"Gue nggak pernah musuhin dia, dia yang musuhin gue," balas Abrit dengan tenang. Tak lama Alvary terlihat membawa ransel, lalu pergi dari mes dengan cueknya.
"Mau ke mana tuh anak?" Lanang menggerutu. Sementara Abrit menatap kepergian Alvary dengan perasaan gusar.
Satu jam berlalu, delapan mahasiswa lain sudah beristirahat sementara Abrit menatap cemas ke arah pintu. Alvary belum juga kembali. Hingga akhirnya dia teringat kalimat Alvary tadi siang. "Gue mau bikin video epic!"
Abrit bangkit dari kasurnya. Khawatir luar biasa. Belum lagi dia teringat perilaku komodo yang ia baca dari buku. "Itu anak pasti lagi nyamperin kameranya! Goblok!"
"Brit, kenapa?" Lanang dan dua pemuda lain terbangun. Sementara Abrit bergegas mengenakan jaket.
"Alvary kayaknya masuk hutan! Cepet minta bantuan ke ranger, gue bakalan susulin dia duluan," kata Abrit, kemudian bergegas berlari setelah mengambil bilah panjang yang biasanya dipakai oleh para ranger saat bertugas.
***
Alvary tersenyum usai tersesat dan berhasil kembali ke tempat di mana ia meletakkan kamera. Benar saja sesuai dugaannya, baterai kamera itu pasti sudah habis dan harus diganti. Sedangkan dia butuh video time-lapse itu selama 24 jam sebagai karya tambahan miliknya nanti.
Pemuda itu bergegas mengganti baterai, menyalakan kembali kameranya. Memastikan rekaman dimulai lalu meletakkan di tempat semula. Setelahnya ia berbalik, menatap ngeri ke arah kerbau besar yang tampak masih hidup tapi tak berdaya dengan dua kaki telah tercabik.
Mungkin suara lenguhan-lenguhan mengerikan dari si kerbau adalah tangisan kematian. "Loh, komodonya mana?"
Baru ia sadari, tak ada komodo yang meneruskan pembantaian itu. Alvary menangis tanpa sadar, tebersit niat untuk menolong kerbau itu bagaimanapun caranya. Dia lupa bahwa pembantaian itu merupakan mata rantai makanan yang wajar di Pulau Rinca.
Pemuda itu menghela napas, mengembalikan kewarasannya, dan berniat kembali ke mes. Namun langkahnya terhenti. Di depan, sudah menunggu seekor komodo berukuran besar yang menatap dingin ke arahnya. Alvary menggelengkan kepala.
Dia bergerak mundur, hingga terbentur batang pohon. Sialnya, komodo itu justru bergerak maju. Mengintimidasi Alvary dengan desisannya.
"Jangan!" Alvary berteriak, tapi sia-sia. Komodo itu terus maju. Alvary yang tersudut hanya bisa berteriak hingga akhirnya sebuah senter menyorot tepat ke mata komodo. Membuat komodo itu menoleh dan Alvary bernapas lega. "Abrit?"
Abrit mengambil posisi siaga, karena komodo itu kini berbalik berjalan ke arahnya.
"Alv, lari buruan!" Abrit berteriak sambil mengarahkan bilah yang ia bawa ke komodo itu. Bukannya lari, Alvary justru menatap Abrit yang kini berusaha mengalihkan perhatian binatang buas itu. "Heh kampret, buruan lari!"
Alvary menggeleng. "Terus lo gimana?"
"Gue lari setelah lo lari." Abrit mundur sambil terus menyorot komodo. "Yang penting lo selamet dulu! Buruan!"
Alvary menghela napas. Kakinya mulai bergerak agak menjauh dari posisi komodo dan Abrit. Nyaris ia berlari. Tapi, hati yang biasanya membatu, tiba-tiba melunak saat ia melihat betapa gigih Abrit menahan komodo itu agar tak menjadikannya target.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranger From The East✔
ContoSejak SMA, Alvary dan Abrit tidak pernah akur. Persaingan ketat dalam segala bidang mewarnai hidup mereka hingga sampai bangku kuliah. Lain halnya dengan Abrit yang terkesan cuek dan dingin, Alvary sangat berekspresi dalam membenci. Sampai suatu ke...