BAB 1

16 2 1
                                    

"Dara?"

Dara menoleh, ia kembali menyeruput secangkir kopi.

"Mabal lo?"

"Mau?" Tanya Dara pada Deva sembari mengasongkan secangkir kopi hitam.

"Gue ngga suka kopi"

"Lo sendiri ngapain disini?"

Deva tertawa kecil, "Pak, biasa" Deva mengacungkan jarinya pada bapak-bapak penjaga warung.

Dara menghembuskan nafas kasar "Anggota osis kok ngerokok?"

"Terus? Gue kan 18 tahun" Deva menyalakan korek gas.

"Terserah"

"Lo sendiri ngapain disini?" Deva mengeluarkan asap rokok.

"Pernapasan gue masih sehat. Pergi sana kalau mau ngerokok" Dara kembali menyeruput kopi hitamnya.

"Oh," Deva mematikan rokoknya.

"Banyak masalah"

"Hidup emang berat"

Dara mengangguk, "mau cabut bareng?"

"Kemana?"

"Mau aja gue ajak"

"Serius, mau kemana?"

"Ngapain gue percaya sama osis berandalan kaya lo?"

"Gue berandalan, tapi gue berguna"

"Berguna jadi apa? Jadi anggota geng motor?"

"Gara-gara gue ngerokok reputasi gue hancur ya di depan lo. Gue udah 18 tahun, emang masalah?"

"Pak, kopi dibayarin dia. Sekalian sama yang kemarin. Thanks"

Dara pergi, sembari menepuk pundak Deva perlahan.

"Nih pak, kembaliannya ambil aja"

Deva mengejar Dara, "Tungguin. Biar kita dimarahin bareng"

"Udah biasa kok gue dimarahin"

"Gue kan belum biasa. Jadi temenin"

"Ngga penting"

"Mau cabut bareng?"

"Lain kali. Gue ada ujian"

"Kenapa ngga mabal?"

"Pikir aja, bukannya lo cerdas? Dasar bodoh"

Dara membuka pintu kelasnya
"Saya terlambat?" Tanya Dara acuh pada guru di depannya.

"Tidak, silahkan duduk"
Dara hanya mengangguk.

Alasan mengapa Dara terus di pertahankan meskipun sering berbuat onar tak lain karena kepintarannya.

Kepintarannya mengalahkan orang-orang yang rela mengeluarkan uang banyak untuk bimbingan les privat.

Ia meraih juara pertama dari satu angkatan selama 4 semester berturut-turut.

Dara berdiri, mengumpulkan hasil tes ujian matematika-nya dengan percaya diri.

"Ah serius, saya yang terlalu pintar, apa kalian yang terlalu bodoh?" Dara tersenyum sinis.

Raina berdiri "Kamu nyontek kan?!"

"Terserah apa kata anda juara kedua"

Dara keluar dari kelas dengan tatapannya yang tajam. Raina masih memandangnya dari kejauhan.

"Ah serius. Payah" Dara keluar dari kelas, menghembuskan nafas kasarnya dan berjalan menuju atap sambil memasukan kedua tangannya kedalam saku.

"Dara! Mau kemana kamu?" Pak Agus meneriaki Dara dengan suaranya yang keras.

"Bapak pergi saja ke kelas saya. Saya sedang malas berbicara"

Dara pergi tanpa menoleh. Ia menaiki anak tangga satu persatu.

"Ada siapa nih?" Ucap Dara mengejek pada laki-laki yang sedang berdiri di pinggiran atap.

"Jangan kesini atau aku bakalan lompat"

"Lompat sana. Biar gue tonton dari sini"

Lelaki itu terdiam, lalu menaikan kakinya menjauh dari perbatasan. Tapi, "Tolong!"

Dara membuang mukanya "Ah, nyusahin"

Ia berlari, menggapai tangan lelaki di depannya "Makannya kalau mau bunuh diri jangan tanggung-tanggung!"

Dara menarik tangannya, "Diet napa mas! Berat banget!"

Dara terus menarik tangan lelaki ini, sial.

"Lo nyusahin" Dara menatap tajam lelaki di depannya.

"Aku Derel"

Dara membuang permen karetnya "Geli" ucapnya samar.

"Derel! Lo ngapain kesini?"

Dara menoleh.

"Dia mau lompat lagi Ra?" Ucap Deva memandang wajah Dara.

"Lo mau gue bilangin ke Ayah?"

"Adik lo?" Tanya Dara basa-basi.

Deva hanya mengangguk.

Dara melangkahkan kakinya,
"Makasih ya Ra!" Ucap Deva dari kejauhan.

Dara tidak menggubris, ia tetap berjalan tanpa menoleh ke belakang.

"Pulang atau gue aduin ayah" Deva mengancam adiknya, dan beralih mengejar Dara.

"Dara, tunggu"

Deva meraih tangan Dara,
"Apa?" Dara melepas headset dari telinganya.

"Gue mau ngomong" Muka Deva serius.

"Gue dengerin"

Perlahan, Deva menghembuskan nafasnya "Lo kenal Bulan?"

Satu ikatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang