3| Remember Again

14 0 0
                                    

Saat ini, aku sedang berjalan menuju rumah Dillon. Aku tidak tahu, mengapa kakiku menuntun ku untuk berada dirumah yang sudah kosong sejak dua tahun lalu.

Aku mengambil kertas dan bolpoin di sling bag hitamku. Lalu aku menuliskan kalimat yang sama dengan tempelan kertas pada pagar besar rumah Dillon.

Dear, Dillon.
I miss you. Sampai kapan pun, aku nggak pernah menyesal mengenal kamu. Kamu disana baik-baikkan? Aku rindu, Dillon.

Setelah selesai merangkai kata disecarik kertas, aku menempelkannya di dinding pagar. Aku harap, suatu hari jika Dillon pulang, dia bisa membacanya.

Sudah puluhan, bahkan ratusan kalimat yang sama aku tempelkan pada dinding itu. Aku tersenyum melihat rumah bercat putih tulang yang dulunya aku bisa keluar masuk secara bebas. Tapi, sekarang rumah ini hanya lah rumah kosong. Rumah tak berpenghuni.

"Dillon, bantuin, dong. Aku bawanya berat. Harusnya kamu yang bawa semua ini. Aku kan perempuan." Aku menuntun sepedaku yang keranjangnya sudah dipenuhi sayuran.

Aku dan Dillon membantu mami Reny belanja sayur untuk makan siang.

"Kan gue jalan, lo naik sepeda. Lagian, tadi mau tukeran aja lo nggak mau. Yaudah, derita lo." Jawab Dillon cuek.

Aku bertambah marah. Lalu aku menyenderkan sepedaku pada Dillon. "Nih, aku mau masuk. Ambil semua sayurannya."

"Lah, kok gue. Ya, lo lah. Gue tadi udah jalan." Aku pura pura tidak mendengarkan apa yang di katakan Dillon.

"Woy! Malah masuk!" Aku tertawa lepas setelah berada diruang keluarga.

"Emang enak, aku kerjain."

"Ada apa, sih, Kanira? Kok kayaknya seru banget."

Aku menghampiri mami Reny yang berada ditangga. Entah mengapa, aku selalu merasa mami Reny adalah ibu kedua yang harus aku hormati. "Enggak, kok. Tadi Dillon aku suruh bawa belanjaan aja. Habisnya dia nggak mau bawain belanjaannya. Kan berat."

Aku tersenyum melihat mami Reny yang menghampiri Dillon. Siap untuk diterkam.

"Dillon. Kamu gimana, Kanira kok disuruh bawain belanjaannya. Kamu itu laki-laki harusnya melindungi perempuan dengan baik, menjaganya dengan baik. Malah disuruh bawain belanjaan, banyak lagi." Dillon menatapku dengan kesal. "Yaudah gih, dibawa ke dapur."

Dillon melewatiku dengan pandangan tak mengenakkan. Aku tahu Dillon hanya bercanda. Tetapi seram jika aku ditatap Dillon seperti itu.

Aku membantu mami Reny memotong sayuran. Menu makan siang hari ini adalah soup matahari. Setelah selesai memotong, aku mencuci semua sayuran lalu merebusnya. Mami Reny sedang memasak daging sapinya. Dillon? Dia sedang memainkan game di ponselnya. Memang sudah seperti itu, jika aku memasak, Dillon pasti akan main game di ponselnya. Sesekali menjahili ku. Aku tidak tahu, apa asiknya jika sudah mengusili ku. Mungkin, bagi Dillon itu adalah kebanggaan tersendiri.

Baru saja aku batin, Dillon sudah menarik tali celemekku. "Dillon! Kamu apa-apaan, sih. Aku lagi masak. Nanti kalau kamu kena air panas atau minyak panas, gimana!" Dillon hanya tertawa puas.

Kadang, Dillon seperti kakak yang menasihati adiknya dengan bijak. Tetapi, Dillon juga seperti adik yang ingin sekali melihat kakaknya sengsara.

Tapi dibalik itu, aku tahu Dillon menyayangiku. Iya, menyayangiku selayaknya kakak yang menyayangi adiknya.
"Makanya, kalo masak jangan serius-serius amat. Lagian itu bukan ujian, serius amat, lo." Kata Dillon disela-sela tawanya.

"Biarin lah. Lagian, mendingan aku dari pada kamu. Kamu nggak ikut bantuin tapi ikut makan." Dillon membalas dengan menjulurkan lidahnya. Aku memutar bola mata. Malas meladeni Dillon.

Aku sudah tahu, jika bertengkar begini, antara Dillon menang atau aku akan mengadu pada mami Reny. Dan Dillon akan segera diusir dari dapur. Tapi, kasihan juga melihat Dillon diperlakukan seperti anak tiri pada ibunya sendiri. Tapi salah siapa suruh menjahili ku.

Setelah hidangan makan siangnya sudah siap, kita bertiga sudah berada di ruang makan. Siap untuk menyantap soup matahari buatanku dan mami Reny, yang tentunya lebih mendominasi masakan ini adalah mami Reny. Aku hanya ikut memotong sayuran, lalu mencicipinya.

"Wahh, enak ini. Gue nggak yakin lo bisa buat ini semua. Pasti mami, kan yang masak semua."

"Tujuh puluh buat kamu. Enak aja. Aku tadi bantuin, ya. Tadi kamu nggak lihat. Makanya, jangan main game terus." Belaku tidak terima dengan ejekan Dillon. Enak saja, bilang saja dia hanya gengsi mengakui jika masakanku itu enak.

"Halah, lo masak kue aja masih bantet." Dillon terus mengejekku. Dia memang menyebalkan.

"Kamu nggak ingat, cemilan kita buat bekal dibukit kan, aku yang masak. Kata kamu itu enak." Aku terus membela. Aku sesekali melirik mami Reny. Memberi kode untuk membantu menyerang Dillon. Dan mami Reny membalas dengan senyuman kecil.

"Dillon, kamu nggak boleh merendahkan orang seenak kamu. Lebih mending Kanira dong, bisa masak walau ada kekurangannya. Tapi kamu? Kamu nggak bisa masak sama sekali." Mami Reny melirik ku dan tersenyum. "Kalau kamu nggak mau makan masakan Kanira nggak papa. Kamu pergi aja sana. Dari pada ribut didepan makanan, nggak baik."

Dillon kesal dengan jawaban maminya. "Anak mami itu Dillon bukan, sih. Yaampun, mami. Ternyata Dillon di anak tirikan mami, nih. Oke, fine." Kata Dillon dengan kedua tangan masing-masing menggenggam sendok dan garpu.

"Jadi?" Tanya mami meyakinkan Dillon.

"Jadi apa? Dillon nggak ngerti, mi." Dillon semakin kesal. Aku tahu Dillon mengapa kesal. Jika ada aku, Dillon selalu saja salah dimata maminya. "Iya mami, Dillon ngaku kalau Dillon salah. Jadi, Kanira tolong maafin Dillon yang banyak salah ini, ya?"

"Iya, Dillon. Kanira yang nggak pernah salah ini mau maafin kamu, kok. Jangan diulangi lagi, ya." Jawabku dengan senyum selebar mungkin.

"Lain kali, kamu harus bisa menghargai orang, ya Dillon. Ayo, lanjut makan."

Itu adalah kegiatan liburan yang sangat menyenangkan bagiku. Menurutku, tidak perlu berlibur ke tempat jauh, dan itu pasti akan banyak mengeluarkan uang untuk mencapainya. Tapi, bagiku, berkumpul dengan orang yang sangat aku sayangi itu adalah suatu anugerah.

Setelah liburan berakhir, aku dan Dillon sibuk dengan urusan masing-masing. Bukan. Bukan kita menjauh dari satu sama lain. Tapi aku sadar, Dillon membutuhkan waktu untuk belajar. Dillon sudah akan lulus nantinya. Tapi, dalam seminggu kita bisa bertemu tiga sampai empat kali untuk melihat senja. Di hari weekend, kita menghabiskan waktu dirumahku maupun dirumah Dillon. Aku sangat senang, meskipun kita jarang mempunyai waktu bersama, tapi kita malah lebih dekat. Dillon yang selalu mengingatkan aku untuk tidak telat makan, harus belajar, tidak lupa untuk beribadah. Aku hampir lupa kalau kita hanya sebatas best friend-zone.

OPACAROPHILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang